Mempertimbangkan Allah & Kehendak-Nya Dalam Perencanaan (Yak. 4:13-17)
Pada umumnya setiap orang,
baik muda maupun tua mempunyai rencana demi rencana dalam hidupnya. Misalnya, anak-anak
SMA yang telah mengikuti ujian negara tahun ini tentu memiliki rencana apakah
dia mau kuliah, apakah mau bekerja, atau menikah. Pasangan suami-isteri akan
merencanakan bagaimana ia mendidik dan membesarkan anak-anaknya di masa
mendatang, supaya kehidupan anak-anaknya lebih baik dari mereka.
Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang dikaruniai bakat/kemampuan untuk merencanakan (Kej. 1-2). Perencanaan berarti
kemampuan untuk mengisi masa yang akan datang dengan hal-hal yang dipandang berguna oleh pribadi, keluarga, gereja, masyarakat, dan organisasi lainnya, juga siasat/strategi menghadapi/menyikapi tantangan, ancaman
di masa depan. Salah satu ayat firman Tuhan yang sering dipakai
sebagai dasar atau pentingnya perencanaan adalah dalam Lukas 14:28-30 ”Sebab siapakah di antara
kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat
anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?
Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya,
jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang
itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.”. Dari hal ini jelas, segala sesuatu perlu rencana, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, bahkan
dalam pekerjaan Tuhan pun perlu perencanaan yang
baik supaya hasilnya besar.
Lalu apakah yang dimaksudkan Yakobus dengan perikop tadi yang kita baca, apakah hal itu bermaksud untuk menentang perencanaan atau apakah ia seorang yang anti perencanaan, apakah benar ia hanya ingin
orang Kristen Yahudi mengandalkan Tuhan saja, dan tidak perlu menggunakan
kemampuannya untuk merencanakan? Melalui perenungan firman Tuhan malam hari ini
kita akan mengetahui makna pernyataan Yakobus di ayat 13 dan 14, serta
bagaimana itu berguna bagi kita sebagai anak-anak Tuhan.
Memang apabila kita perhatikan di
ayat 13 dan 14
ada pernyataan/teguran keras, yang dalam konteks ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yang tersebar di seluruh
kekaisaran Romawi. Dan rupanya, beberapa di antara mereka bekerja
sebagai
pedagang. Dalam pekerjaannya sebagai pedagang menuntut adanya
perencanaan yang baik agar memperoleh keuntungan yang besar. Ibarat seorang
pengelola pasar malam merencanakan waktu dan tempat, mempertimbangkan situasi
dan kebutuhan, agar memperoleh untung yang besar. Sesungguhnya yang
ditentang Yakobus bukanlah sikap merencanakan segala sesuatu, melainkan sikap kesombongan yang beranggapan
bahwa perencanaan saja cukup, tanpa perlu melibatkan Tuhan. Yakobus tidak menyerang motivasi mereka mencari untung, melainkan
kekurangan mereka yang tidak menghisabkan Allah dalam pemikirannya. Mereka gagal untuk memahami
bahwa mereka tidak berkuasa untuk mengetahui masa depan.
Dalam berdagang orang
Yahudi Kristen melibatkan dua hal yaitu: pertama, waktu (hari ini atau besok)
dan tempat (ke kota anu atau disana). Istilah kami berangkat, kami akan
tinggal, kami berdagang, serta kami mendapat untung di ayat 13, menunjukkan
bahwa mereka semata-mata hanya mengandalkan hikmat, kekuatan, dan kecakapan
mereka sendiri dalam menjalani usaha mereka. Karena itu melalui Yakobus
Allah memperingatkan mereka agar jangan memegahkan atau menyombongkan diri.
Kepada mereka yang menyombongkan diri Yakobus mengingatkan dua hal:
1.
Dia menyatakan bahwa manusia
memiliki keterbatasan
dalam pengetahuan akan hari esok (ayat 14a). Yakobus
mau mengatakan bahwa tentang hari esok atau masa depan, manusia hanya bisa
meramal, memprediksi; tetapi bukan kepastian mutlak, kadangkala ramalan
meleset. Ilustrasi: saya termasuk
yang suka menonton film action. Saya melihat bahwa Film Action, semuanya diatur
dengan perencanaan yang baik; perencanaan A, B, dan C, tetapi ada sesuatu yang
tidak dapat diprediksi. Hidup ini juga sama, terkadang tidak dapat diprediksi. Jangankan satu tahun, satu
bulan, atau satu minggu ke depan; satu jam, bahkan untuk satu
menit ke depan pun tak ada orang yang tahu pasti apa yang akan terjadi. Orang
hanya bisa meramal, namun masa depan tetaplah misteri. Oleh
karena itu perlulah bergantung pada seorang yang mengetahui masa depan, Ia
adalah Tuhan Yesus. Berkaitan dengan hal ini ada dua tipe orang: 1) Tipe orang
yang sok tahu dengan masa depan, maka di TV ada yang mempromosikan tentang masa
depan...”ketik Reg...kirim ke...”. 2) Orang yang tidak mau ambil pusing dengan
masa depan,..”slogannya adalah gimana nanti...kumaha ngke”.
2. Dia menyatakan bahwa manusia
memiliki keterbatasan
hidup (ayat 14b). Melalui ayat ini, Yakobus mengatakan bahwa
hidup itu fana, sementara, temporer, karena itu perencanaan sia-sia jika tidak melibatkan Allah. Seorang
teolog, John Calvin pernah mengatakan “hidup manusia tidak lebih dari uap atau
bayangan, karena itu kita harus mementingkan kekekalan dan menyerahkan segenap
kekuatan kita untuk bebas dari jerat-jerat kesementaraan. Mazmur 90:10 juga menyatakan, bahwa umur manusia rata-rata 70 sampai 80
tahun, kalau pun ada di atasnya itu adalah anugerah khusus. Itu berarti hidup
ini singkat, maka perlu diisi dengan hal-hal yang baik, berguna, dan bernilai
kekal.
Apabila di ayat
13 dan 14 dipaparkan teguran bagi mereka yang lalai mempertimbangkan Allah dan
kehendak-Nya dalam perencanaan, maka ayat 15 merupakan jalan keluar, atau cara
hidup yang harus dipraktekkan, yakni “Perintah untuk mempertimbangkan Allah dalam perencanaan”. Melalui perikop ini Yakobus menekankan kepada orang Kristen Yahudi, bahwa
idealnya mereka berkata ”Jika Tuhan menghendakinya”. Kata jika Tuhan
menghendakinya kata yang lazim seperti insya Allah (Arab), Deo Volente (Latin).
Seorang
tokoh dalam Alkitab yang patut kita teladani adalah Paulus, dimana ketika
orang-orang Yahudi meminta Paulus agar tinggal lebih lama di Efesus, namun
tidak mengabulkannya. Dan Ia pergi dari sana sambil mengatakan bahwa “saya akan
kembali ke sini Jika Allah menghendakinya” (Kisah 18:21). Perkataan Paulus ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya tentang hari esok ia tidak tahu kepastiannya, ia
hanya bisa berencana, tetapi pekerjaan Tuhan yang membuatnya terlaksana. Bagi Paulus
baik hidup, kehidupan, maupun segala rencana bergantung pada Allah. Maka, prinsip
hidup yang harus kita pegang adalah jika Tuhan menghendaki. Jika kita
sungguh-sungguh berdoa, mari kita katakan seperti doa Tuhan Yesus di Getsemani
yaitu “jadilah kehendak-Mu” (Mat. 26:42), maka kita memiliki kepastian hidup
saat ini dan kelak ada di bawah perlindungan Allah. Kita harus mengakui bahwa
kebahagiaan yang sejati dan kehidupan yang bermanfaat sepenuhnya tergantung
kepada Allah.
Frase “jika Tuhan berkehendak” berarti Tuhan yang berinisiatif, hanya Dia tempat sandaran kita, yang utama
agendanya Tuhan bukan agenda saya. Perkataan ini juga
menyatakan bahwa kehidupan dan perbuatan kita harus terus berjalan, ini
bukanlah alasan untuk hidup tanpa melakukan suatu apapun dengan alasan “Jika Tuhan
berkehendak.” Pada saat yang sama, kita tidak seharusnya menghakimi mereka yang
menggunakan frasa ini; bila dilakukan dengan rendah hati sebagai pengingat akan
kedaulatan Allah.
Sesungguhnya, apabila perencanaan itu
dilandasi atas dasar kasih kepada Allah, apabila rencana itu dilandaskan kepada
ketundukan kepada Tuhan, apabila perencanaan yang disusun dengan menjadikan
Allah sebagai pribadi pemegang keputusan tertinggi atas segala sesuatu maka
manusia akan terhindar dari kesombongan, terhindar dari kekecewaan yang berat,
pemaksaan kehendak. Sebaliknya apabila perencanaan itu dirancang tanpa
melibatkan Tuhan dengan anggapan bahwa perencanaannya sudah baik, maka
manusia itu akan jatuh kepada sikap membanggakan diri sendiri,
mengandalkan diri sendiri, dan pada akhirnya dapat mengalami keputusasaan, dan
dihantui oleh rasa kegagalan secara terus-menerus
apabila rencananya tidak tercapai.
Dalam ayat 17,
menunjukkan bahwa orang Kristen Yahudi sudah mengetahui tentang perbuatan baik,
tentang kebenaran firman Tuhan; namun mereka gagal dalam melakukan ataupun
menaatinya, sehingga mereka sudah berdosa. Maka sesungguhnya yang penting bukan
hanya mengetahui tentang hal-hal baik; tetapi juga mewujudnyatakan hal-hal baik
itu dalam tindakan nyata.
Sebagai ayat penutup (Amsal 16:3)
serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu”. Saudara-saudara melalui perenungan
ini, Tuhan melalui Yakobus tidak hendak mengatakan bahwa kita tidak perlu
merencanakan segala sesuatu dengan baik, namun apabila kita merencanakan segala
sesuatu kita harus mempertimbangkan Allah dan kehendak-Nya. Apakah mulai saat ini, malam ini, kita mau
berkomitmen untuk mempertimbangkan Allah dan kehendak-Nya dalam segala
perencanaan dan perwujudannya?, apakah kita mau lebih mengutamakan agenda
Tuhan, daripada agenda kita sendiri? Kiranya Tuhan menolong kita sekalian.
.
Komentar
Posting Komentar