Mewujudnyatakan kepercayaan kepada Allah dengan sikap mengucap syukur senantiasa (1 Tes. 5:18; Rom. 8:28.)
Dalam
Alkitab kata mengucap syukur dengan terima kasih dipakai secara bergantian,
memang kecenderungannya bahwa kata mengucap syukur hanya ditujukan kepada Tuhan
(kita tidak pernah mendengar saya mengucap syukur kepada Bapak Narto, karena
telah menyediakan gereja ini untuk tempat beribadah, tetapi kita berterima
kasih), sedangkan kata terima kasih bisa ditujukan kepada Tuhan dan manusia.
Sewaktu kami pergi ke
Korea Selatan, kami memperoleh pelajaran, bahwa ada tiga kata yang disukai oleh
orang Korea Selatan, yaitu: saya mengasihimu, saya minta maaf, dan saya
berterima kasih. Saya rasa bukan hanya bangsa Korea Selatan saja yang menyukai
kata “terima kasih”. Pada umumnya semua orang senang apabila ada seseorang
mengucapkan terima kasih. “Terima kasih” adalah salah satu kata yang paling sedap didengar. Misalnya:
1. Orang tua merasa senang dan puas bila
mendengar anak-anaknya berkata, “terima kasih ibu, terima kasih bapak.” Semua jerih payah pengorbanan mereka
membesarkan dan mencukupi kebutuhan anaknya terpuaskan ketika mereka mendengar
anaknya mengucapkan terima kasih.
2. Seorang guru akan senang apabila muridnya tahu berterima
kasih atas pengajaran, dll.
3. Demikian juga seorang pendeta akan merasa senang apabila
anggota jemaatnya tahu berterima kasih atas pelayanannya.
Namun, melalui
pembacaan ini, ternyata bukan hanya manusia yang senang diberikan terima kasih,
juga Tuhan. Mungkin bapak ibu saudara sekalian masih ingat kisah 10 orang Kusta
dalam Lukas 17, dimana ada sepuluh orang Kusta yang datang memohon kesembuhan
kepada Yesus, mereka berteriak Yesus, Guru kasihanilah kami. Lalu Yesus
menunjukkan belas kasihan kepada mereka, semuanya dinyatakan sembuh. Namun,
dari kesepuluh orang tersebut hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur
kepada Tuhan Yesus. Lalu Yesus bertanya, kemana yang sembilan orang lagi?.
Dalam ayat yang kita
baca tadi, jelas dikatakan bahwa ”Mengucap syukur, dalam segala hal sebab itulah
yang
dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus
bagi kamu.” Kita garis bawahi kata “mengucap syukurlah”, “dalam segala hal” dan
“dikehendaki Allah”. Dalam nats ini kita lihat, kata mengucap syukurlah dalam bentuk
perintah. Perintah biasanya adalah segala sesuatu yang harus dilakukan. Berbeda
dengan undangan, yang tergantung dengan situasi bisa kita hadiri atau tidak. Dalam segala hal menunjuk pada keutuhan yang terjadi dalam
hidup, dalam segala situasi, dan keadaan; baik dalam hal menyenangkan atau
tidak menyenangkan, baik suka maupun duka, sehat atau sakit, baik yang
dimengerti maupun yang tidak dimengerti, kegagalan atau keberhasilan, kehinaan
atau kemuliaan, berkelimpahan atau berkecukupan, kepastian atau kebingungan,
kestabilan hidup atau krisis, jalan yang mudah atau sulit, tantangan atau
peluang, kekuatiran atau ketenangan.
Tesalonika adalah ibu kota Makedonia, merupakan kota modern
yang maju, pelabuhan yang paling terkemuka, dan merupakan pusat pemerintahan
Yunani Utara. Jemaat Tesalonika merupakan buah pemberitaan Injil Paulus dan
pembinaannya (Kis. 17:1-9). Konteks pada waktu itu ketika surat ini ditulis
oleh Paulus adalah bahwa jemaat di Tesalonika di satu sisi sedang berada dalam
kelegaan dan sukacita karena mereka penuh semangat, dan bertumbuh dalam iman
dan kasih kepada Kristus, serta ketekunan di tengah-tengah penganiayaan (ketika
Paulus mengutus Timotius ke Tesalonika untuk mengamati/menyelidiki
keadaan/kerohanian jemaat yang masih muda itu, maka Timotius memberikan laporan
yang positif, dan membawa sukacita bagi Paulus), namun di sisi lain mereka
sedang mengalami ketidakstabilan hidup, ketidakpuasan diri, adanya bahaya
penyesatan, adanya penganiayaan dan kerusuhan terhadap pengikut Kristus, adanya
penderitaan, adanya perbedaan ekonomi (ada kelas atas, juga kelas menengah),
adanya keterpisahan dengan orang-orang yang disayangi, adanya kebingungan
tentang status orang Kristen setelah kematian, dll. Itu sebabnya Paulus dalam
suratnya memberikan pembinaan secara utuh, setelah mendapat laporan dari
Timotius di Korintus agar mereka terus bertumbuh ke arah Tuhan Yesus, dan mampu
mewujudnyatakan buahnya dengan mensyukuri segala sesuatu yang terjadi dalam
sepanjang perjalanan hidup dan meyakini bahwa Allah akan terus bekerja untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka. Bapak/ibu, saudara/i, mendengar dalam segala sesuatu,
memang saya agak merinding.
Pada umumnya semua orang bisa mengucap syukur kepada Tuhan
di saat-saat menyenangkan, segala sesuatu berjalan dengan baik, namun hanya
segelintir orang yang dapat mengucap syukur di saat segala sesuatu itu buruk. Kita
lebih mudah bersungut-sungut dari pada mengucap syukur bila keadaannya buruk. Pasti bapak/ibu, saudara/i sekalian mengingat
ketika Musa membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan, yaitu tanah
Mesir, lalu di satu titik mereka tiba di Mara dan di Elim, di sana mereka tidak
mendapat air, lalu mereka bersungut-sungut, mengeluh, menggerutu, di hadapan
Musa.
Akan tetapi, kita patut bersyukur, di Alkitab kita dapat
belajar dari beberapa tokoh yaitu manusia biasa sama seperti kita, yakni Ayub. Dimana ketika ia kehilangan
harta, popularitas, keluarga, handaitaulan, kesehatan, ia tetap mampu bersyukur
kepada Tuhan dan berkata terpujilah Allah yang memberi dan mengambil (Ayub
1:27). Paulus yang adalah penulis
surat ini juga seorang rasul yang banyak
berjerih lelah dalam pelayanan, banyak menderita, disesah, kerap kali tidak
tidur, kerap kali dalam bahaya maut, dilempari dengan batu, masuk keluar
penjara dan terdampar dalam pelayanannya, tetapi dari mulut Paulus tidak pernah
sekata pun keluar kata-kata komplain dan putus asa. Dua Minggu yang lalu, saya
menonton di Metro TV tentang kondisi penjara di Medan, dan saya melihat ada
yang sampai 40 orang lebih, dalam satu kamar, untuk tidur saja mereka harus
berganti-gantian. Mereka tidak bebas melakukan apa yang mereka inginkan,
makanan, minuman, fasilitas dibatasi. Lebih-lebih lagi yang dialami oleh
Paulus, Ia dimasukkan ke dalam penjara yang paling dalam, gelap, dan kakinya
dirantai. Namun, sangat menarik justru dari dalam penjara, Paulus memberi
motivasi kepada orang Kristen di Filipi supaya mereka senantiasa bersukacita
dan mengucap syukur.
Bapak/ibu, saudara/i
yang dikasihi oleh Tuhan Yesus, kunci bagi hidup yang mengucap syukur adalah
kesadaran hidup yang diarahkan pada Allah dan bukan hanya terfokus pada diri
sendiri semata. Ketika kita terus merenungkan, menghayati, karya pengorbanan
Tuhan Yesus di kayu Salib, maka kita akan tiba di satu titik bahwa penderitaan yang
saya alami tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami Tuhan Yesus demi
menebus dosa saya. Ketika kita memusatkan hidup kita pada Tuhan dan
sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, maka kita akan berupaya dengan pertolongan
Roh-Nya untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya, atau disukai-Nya. Kalau kita
mengasihi Tuhan, kita akan tahu bahwa ucapan syukur yang tulus, dan murni
adalah hal yang dikehendaki/diingini oleh Allah di dalam Yesus bagi orang-orang
yang berharap kepada-Nya. Ketidakmampuan untuk mengucap syukur kepada Allah
adalah salah satu petunjuk ketidakpercayaan kepada Allah. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa mengucap syukur dalam segala hal adalah gaya hidup mereka
yang berjalan dalam iman, dan yang telah mengalami kedewasaan secara rohani.
Ada sebuah kesaksian
dari tahun 1980-an. Ada seorang anak muda
cinta Tuhan luar biasa. Ibadahnya sukacita, dia lompat, dia menari, dia sungguh
semangat. Dalam sebuah ibadah malam, dia memuji Tuhan, dan pulangnya sambil
berjalan di trotoar, dia juga terus memuji Tuhan karena begitu senangnya kepada
Tuhan. Tiba-tiba ada seorang yang berkulit hitam sedang mabuk setir mobil.
Mobilnya naik ke trotoar dan menghantam kaki kanan anak muda ini. Dia tersadar
ketika sudah di rumah sakit, dan kakinya sudah diamputasi. Dia marah kepada
Tuhan, aku tidak ke klub malam, aku tidak ke diskotik, aku ke gereja,
kenapa aku ditabrak? Setelah sembuh, dia dipakaikan kaki palsu dan dia tidak
mau ke gereja karena dia kecewa pada Tuhan kenapa sampai terjadi seperti ini.
Satu waktu, dia akhirnya kembali lagi ke gereja dan mulai bersemangat lagi. Ada
altar call, dipanggil maju ke depan, dan ditantang untuk melayani Tuhan.
Dia maju dan berlutut. Dia menyerahkan diri dan setelah itu, gereja mengutus
dia menjadi misionaris ke Afrika. Dia sudah siap, dia cinta Tuhan luar biasa.
Waktu masuk ke sebuah pedalaman Afrika, daerahnya masih animisme, belum ada
orang kenal Tuhan. Dia masuk dan dia ditangkap, dia dikurung untuk menjadi
makanan bagi pesta adat orang daerah itu. Mereka lihat dia putih bersih dan
badannya besar, jadi mereka bilang ini makanan yang enak. Pada hari pesta adat,
mereka coba potong, dan pertama kali mereka potong adalah kaki palsunya. Waktu
mereka lihat tidak keluar darah dan tidak putus, mereka bilang dia adalah dewa
dan semua menyembah dia! Di situlah dia memberitakan Injil sehingga seluruh
daerah itu menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi. Dia berlutut mengucap
syukur, berterima kasih karena kakinya hancur menjadi kaki palsu, sehingga
dengan kaki palsu itu dia bisa menyelamatkan beribu-ribu jiwa untuk kerajaan
sorga.
Ada banyak hal yang tidak kita mengerti
terjadi dalam hidup kita, namun marilah kita mengucap syukur senantiasa sebab
Allah peduli pada kita, Ia sanggup mengubah hal-hal yang tidak kita mengerti pada awalnya menjadi kita mengerti
pada akhirnya, Ia mampu mengubahkan hal-hal yang buruk, menjadi kebaikan bagi
kita. Alkitab katakan bahwa salah satu bukti bahwa kita percaya sepenuhnya
kepada Tuhan adalah ketika kita mampu mengucap syukur dalam segala situasi dan
keadaan.
Komentar
Posting Komentar