YESUS LUAR BIASA DALAM HIKMAT DAN CARA PANDANGNYA (Yoh. 8:2-6)
Jikalau diperhatikan, proses pembinaan yang
terjadi dalam Yohanes 8:2-11 ini berawal dari kehadiran Tuhan Yesus dalam
perayaan Pondok Daun, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi,
yakni hari raya yang memeringati perjalanan Israel setelah keluar dari Mesir
dan waktu mereka mengembara di padang gurun, yaitu ketika mereka tinggal dalam
tenda-tenda pemeliharaan Allah (Im. 23:34-43).
Salah satu
yang menarik bagi saya ketika merenungkan perikop ini adalah, bahwa sebelum
Yesus melakukan pengajaran, Yohanes mencatat bahwa Ia pergi ke bukit Zaitun
(ayat 1). Tidak dijelaskan Yesus mau melakukan apa di sana. Namun, di ayat-ayat
sebelumnya dan sesudahnya, serta keterangan kitab sinoptis menguatkan bahwa
ketika Yesus pergi ke tempat tersebut adalah untuk mengasingkan diri dan berdoa
kepada Bapa-Nya. Dari hal ini nampak jelas bahwa Ia seorang guru/pembina yang
memiliki spiritualitas yang sehat ditinjau dari sudut kerabian-Nya secara
insani.
Di ayat 2 disebutkan bahwa pagi-pagi benar
Yesus berada lagi di Bait Allah. Kata “lagi” ini mengindikasikan bahwa Yesus
sebelumnya sudah berada di Bait Allah. Bait Allah/Sinagoge pada zaman itu
bukanlah sekadar tempat untuk beribadah kepada Allah, melainkan juga sebagai
tempat belajar. Di situ terjadi aktifitas belajar-mengajar. Mungkin dari hal
inilah Dr. Andar Ismail terinspirasi bahwa mestinya gereja adalah tempat
belajar dan mengajar.
Pendengar
atau orang yang diajar adalah kelompok besar yakni seluruh rakyat (ayat 2).
Apabila dikategorikan kemungkinan besar mereka adalah ahli-ahli Taurat,
ahli-ahli Farisi, warga jemaat biasa yang menghadiri pesta Pondok Daun dan yang
sebentar lagi akan pulang ke tempatnya masing-masing dan juga murid-murid-Nya.
Artinya, pendengar-Nya terdiri dari pelbagai latar belakang, sosial,
intelektual, dll.
Yang
menarik, setelah Yesus memulai proses belajar mengajar, dikatakan bahwa
sekelompok ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi mendatangi Yesus. Pada zaman
itu mereka adalah orang-orang terhormat yang menguasai tentang keagamaan. Atau
dalam istilah sekarang mereka disebut sebagai ahli kitab. Mereka datang dengan
memperhadapkan sebuah kasus nyata yaitu “seorang perempuan kedapatan berzinah”.
Mereka membawa perempuan kepada Yesus dan berkata: “Rabi, perempuan ini
tertangkap ketika ia sedang berbuat zinah (4). Para ahli Taurat ingin
mengetahui pendapat Yesus tentang hukuman
apa yang akan diberikan kepada perempuan itu. Tentu motifasi/tujuan mereka adalah untuk mencobai
Tuhan dan untuk melengserkannya. Perbuatan itu hanya mencari alasan untuk
menangkap Yesus (bnd. 7:45). Kasus
ini memang rumit dan buah simala-kama menurut pandangan ahli Taurat dan Farisi,
tetapi bukan bagi Yesus. Menurut mereka apabila Yesus menjawab akan
dihukum sesuai dengan hukum Musa yaitu dirajam dengan batu sampai mati. Maka
Yesus akan mendapat masalah dengan orang Romawi yang tidak memperkenankan orang
Yahudi untuk melaksanakan eksekusi mati. Karena kondisi mereka sebagai jajahan
Romawi. Sedangkan, jika Yesus menjawab untuk tidak menghukum, Dia bisa
dinyatakan yang memiliki pandangan yang
terlalu lunak terhadap penerapan HT, menentang Hukum musa dan mereka akan
melawan hukum Musa serta mereka tidak akan taat terhadap Hukum Taurat. Namun,
pada dasarnya orang Farisi hanya ingin mencobai Yesus, dan tidak benar-benar
ingin menegakkan HT atau untuk menghukum perempuan berzinah tersebut, sebab
apabila orang-orang Farisi itu memang benar-benar ingin memberlakukan HT,
mereka tentu juga menyeret pihak laki-laki.
Akan tetapi
Yesus tidak berdebat tentang hal itu. Yesus bersikap dengan cara menuliskan
sesuatu dengan jari-Nya di tanah (5-6). Mereka terus mendesak Yesus dan
bertanya kepada-Nya, lalu Yesus berdiri dan berkata,.... “Barang siapa di
antara kamu tidak
berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan
itu”(7).
Setelah
itu, Yesus kembali menulis sesuatu dengan jari-Nya di tanah (8). Kita tidak
tahu apa persisnya apa yang ditulis oleh Yesus, namun Yohanes hanya melaporkan
bahwa Yesus sedang menulis. Besar kemungkinan bahwa Yesus hendak mengajak ahli
Taurat dan orang Farisi untuk memikirkan sendiri apa yang patut dilakukan. Yesus adalah
seorang guru/pembina yang luar biasa hikmat dan cara pandang-Nya.
Dalam keadaan demikian, Yesus tidak terjebak dengan perkataan mereka untuk
menghakimi perempuan itu. Jadi, apabil ditanyakan kepada saya, hal apakah yang
menginspirasi dari Yesus guru menurut perikop ini, jawabnya adalah
bagaimana Yesus menghadapi pendengar yang kerap kali mencobai-Nya? Yaitu
dengan memakai hikmat dan cara pandang yang radikal. Tidak semua pertanyaan
dijawab: terkadang Yesus diam, terkadang ia menanyakan ulang, terkadang dengan
perumpamaan, demonstrasi, dan saat ini dengan “menuliskan sesuatu di tanah”. Ia
memang Tuhan yang berperan sebagai guru yang sangat kreatif, memakai berbagai
macam metode/strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran-Nya yaitu
agar seseorang mengenal Allah yang benar dan dapat menikmati kerajaan-Nya baik
di bumi maupun di surga.
Yang menarik adalah bahwa ketika orang-orang itu
mendengar perkataan Yesus tersebut yang bernada tidak menghakimi akhirnya
mereka satu-persatu meninggalkan tempat tersebut (9a). Kata-kata Yesus
“barangsiapa yang tidak berdosa” menyebabkan berpindahnya perhatian dari Yesus
dan perempuan itu kepada penuduh. Tidak berdosa. Tidak harus dosa perzinahan,
namun dosa secara umum. Hati nurani mulai bekerja. Dijelaskan bahwa hal itu
dimulai dari yang tertua sampai yang muda. Sepertinya, di perikop ini
diperkenalkan orang tualah yang memiliki kesadaran akan dosa dan identitas diri
yang lebih tinggi. Karena memiliki pengalaman yang lebih lama dengan dosa,
membuat mereka lebih mudah tertuduh nuraninya. Saya melihat “Yesus memakai
momen itu untuk mendidik ahli Taurat dan ahli Farisi tentang keberdosaan
seluruh umat manusia (universalitas dosa), tidak terkecuali bangsa
Yahudi yang menganggap diri sebagai umat pilihan Allah”. Dalam istilah PAK
disebut sebagai “Learning momen”. Hal
ini nampak dari pengajaran Yesus selanjutnya bahwa Dia adalah terang.
Barangsiapa mengikut Dia, tidak akan hidup dalam kegelapan (12-20).
Pada
akhirnya, Yesus hanya tinggal berdua dengan perempuan itu dan Ia berkata: “Hai
perempuan di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”. Dari
pertanyaan ini dapat kita lihat bahwa “Yesus tidak
menghakimi, namun menunjukkan belas kasihan. Yesus bukan kompromi terhadap
dosa, namun Ia memperkenalkan Allah sebagai Allah yang Maha Pengampun
dan penuh rahmat. Bagi saya identitas ini yang ditonjolkan. Kehebatan Yesus dan
hal yang sangat terpenting adalah bahwa Ia memberikan kesempatan kedua kepada
perempuan itu untuk bertobat, berubah dan melakukan hal-hal yang baik. Hal ini
nampak dari perkataan Yesus yang menyatakan “pergilah dan jangan berbuat dosa
lagi mulai dari sekarang”. Dari hal ini, sesungguhnya tidak ada izin sedikit
pun untuk hidup dalam dosa. Itu sebabnya, jangan sia-siakan jika Tuhan Yesus
memberikan kesempatan yang kedua bagi kita. Segeralah bertobat. Sepanjang masa
dan abad Dia penuh kasih, pengampunan dan kekudusan. Ketika kita terjatuh,
tersesat dalam dosa, dan tidak setia, Dia tetap setia. Kesetian-Nya telah
mendahului kesetiaan umat. Pertanyaan saya adalah apa yang kita lakukan apabila
seseorang yang kita bina melakukan pelanggaran/kesalahan? Bagaimana kita menghadapi orang-orang yang
tidak suka dengan kita? Apakah kita langsung menghakimi, atau memberi
kesempatan kepada orang tersebut, untuk mengakui kesalahannya dan memperbaiki
hidupnya.
Yang
menarik, proses pembelajaran momentum ini ditutup dengan kabar yang
menyenangkan akhirnya perempuan itu dengan mulutnya dan tanpa paksaan mengaku
bahwa “Yesus sebagai Tuhan” (11), dan bukan hanya sebagai rabi. Bisa dikatakan
bahwa proses pembelajaran itu disebut dengan “happy ending”. Di mana Yesus
berhasil membimbing perempuan itu untuk mengenal Allah yang maha kasih dan
perempuan itu menemukan Juruselamat-Nya. Bagi saya inilah yang menjadi tugas kita
sebagai hamba-hamba Tuhan, harus memimpin, menuntun, dan menolong seseorang
untuk berjumpa dengan Juruselamat-Nya secara pribadi. Tentu dengan meneladani
hikmat dan cara pandang-Nya yang luar biasa.
Dalam melayani Tuhan kita perlu untuk belajar pelbagai dan banyak hal dari sikap
Tuhan Yesus. Yesus layak diteladani atas seluruh apa yang telah ia lakukan, baik dari kepribadian-Nya,
sosial-Nya, maupun pedagogis-Nya. Yesus guru mampu mengampuni orang dan
mengasihi dia kembali, apakah kita mampu melakukan demikian?. Kiranya melalui
persekutuan yang indah bersama dengan Tuhan pada malam hari ini, Hikmat dan
cara pandang-Nya terhadap segala sesuatu yang radikal dapat terimpartasi dalam
kehidupan kita. Dan dengan pertolongan Roh Kudus kita semakin memiliki hati
nurani yang murni.
Komentar
Posting Komentar