KEPEMIMPINAN YESUS DAN PERILAKU KOMUNITAS PENGIKUT-NYA PASCA KEBANGKITAN BERDASARKAN INJIL YOHANES
KEPEMIMPINAN YESUS DAN PERILAKU KOMUNITAS PENGIKUT-NYA PASCA KEBANGKITAN BERDASARKAN INJIL YOHANES
Alon M. Nainggolan, M.Th.
I. PENDAHULUAN
Membangun dan mengembangkan teori dan praktik kepemimpinan Kristen berdasarkan Injil Yohanes pasca kebangkitan Tuhan Yesus adalah hal yang sangat menarik. Puncak kepiawaian Yesus dalam memimpin para murid dan pengikut-Nya adalah ketika Tuhan Yesus bangkit dari kematian dan hendak naik ke sorga. Selama 40 hari Tuhan Yesus menampakkan diri kepada pelbagai orang, tempat dan dengan cara yang berbeda dalam rangka mempersiapkan dan memobilisasi mereka untuk melanjutkan pekerjaan-Nya di dunia.
Melalui penyataan-Nya, maka murid-murid dan pengikut-Nya diperdamaikan, dipulihkan, disatukan, diteguhkan dan diberdayakan kembali. Yesus memantapkan teori dan praktik kepemimpinan Kristen di dalam diri murid-murid-Nya sebelum naik ke sorga. Setelah kebangkitan-Nya, nampak jelas bahwa Yesus telah berhasil dalam membentuk pemimpin yang transformatif dan berpengaruh di sepanjang abad (pemimpin yang mengubah dunia). Keberhasilan itu terwujud karena Yesus tidak hanya mendemonstrasikan gaya kepemimpinan goal oriented, namun juga people oriented. Bahkan dapat dikatakan perpaduan diantara keduanya secara seimbang.
II. PERILAKU KEPEMIMPINAN YESUS
Jika ditelusuri dalam kitab Injil Yohanes secara mendalam, maka ditemukan empat perilaku kepemimpinan Yesus yang dapat diterapkan dalam praktik kepemimpinan Kristen di masa kini, yaitu: peran pemimpin membawa pemulihan, perdamaian, konsolidasi dan pendelegasian tugas. Di bawah ini akan diuraikan satu persatu.
A. Pemulihan / Recovery (Yoh. 20:15, 20, 22,29)
1. Pemulihan secara Luas
Manusia adalah makhluk yang rapuh, mudah kecewa, berubah, pecah dan terluka. Ketika Yesus ditangkap, dianiaya dan hendak disalibkan; murid-murid Tuhan Yesus mengalami luka secara psikis. Mereka mengalami kesedihan yang mendalam, malu, berputus asa, ketakutan yang besar dan kekecewaan. Hal ini nampak dari perilaku mereka bahwa ketika Yesus disalibkan dan mati, maka murid-murid meninggalkan Yesus, bersembunyi, bahkan ada di antara mereka yang menyangkal Tuhan Yesus. Mereka merasa bahwa pemimpin mereka telah kalah / gagal. Apalagi dengan adanya pernyataan Pilatus yang menyindir bahwa Yesus adalah pemimpin gagal yang hanya memengaruhi beberapa orang penghianat yang tidak setia (Yoh. 18:35). Dalam kondisi tersebut, jelas bahwa situasi darurat dengan mudah mengubah sifat murid-murid dan komitmennya untuk menepati janji.
Akan tetapi, ketika mereka dijumpai oleh Yesus pasca kebangkitan, maka mereka mengalami pemulihan secara psikis, bahkan hidup secara total. Selama 40 hari Yesus menampakkan diri kepada mereka secara bergantian membuat iman, kasih, pengharapan, perasaan dan komitmen mereka dipulihkan. Pada akhirnya, Yesus berhasil memulihkan hidup mereka. Hal ini nampak dari semangat, militansi, komitmen dan pengabdian diri mereka dalam rangka memberitakan Injil pasca kenaikan Yesus ke sorga. Yang menarik adalah bahwa sebelum kebangkitan mereka menyangkal Yesus, namun pasca kebangkitan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi Yesus dan untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Upaya pemulihan itu nampak jelas ketika Yesus menampakkan diri dan menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang hidup dan berkuasa, bisa dikatakan kepada tiga kelompok: Pertama Yohanes 20:11, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Maria Magdalena. Kedua, Yohanes 20:19, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya. Ketiga, Yohanes 20:24, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Tomas. Setelah mereka mengalami pemulihan, maka Yesus mengingatkan para murid-murid-Nya untuk pergi memberitakan Injil, memuridkan kembali, membaptis mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (Kis. 2: 38; 22: 16; Ef. 4: 5; Kol. 2: 12), dan mengajar mereka melakukan kehendak Allah (Mat. 28:19-20).
2. Pemulihan konteks Sempit
a. Petrus
Dalam wikipedia, judul struktur isi dari Yohanes 21:15-19 adalah Yesus memulihkan Petrus. Setelah Yesus bangkit dari kematian, Ia menunjukkan kepada Petrus, bahwa pertobatannya diterima dan Petrus dipulihkan lagi menjadi murid dan rasul Yesus Kristus. Keempat Injil mencatat pemulihan Petrus dari berbagai segi yang berbeda (bdk. Mrk. 16:6-8; Luk. 24:33-45), Injil Yohanes dalam pasal ini mencatat lebih jelas dalam ayat 15-17. Yesus menanyai Simon Petrus tiga kali "Apakah engkau mengasihi Aku?", menunjukkan kepada pemulihan Petrus atas tiga kali penyangkalannya bahwa ia mengenal Yesus. Dua kata Yunani dipakai di sini untuk "kasih". Pertama, agapao berarti kasih yang rasional dan bertujuan, terutama dari pikiran dan kehendak (kasih tak bersyarat). Kedua, fileo melibatkan perasaan kasih yang hangat, lazim dari emosi, jadi suatu kasih yang lebih pribadi dan penuh perasaan (persahabatan). Melalui kedua kata ini Yesus menunjukkan bahwa kasih Petrus jangan hanya dari kehendak saja, namun juga dari hati, kasih yang timbul baik dari maksud maupun dari hubungan pribadi.
Yesus memakai kata agapas (agapao) untuk kata mengasihi (sepenuhnya, tanpa syarat), namun Simon menjawab mengasihi (menyayangi dalam makna persahabatan). Dua pertanyaan pertama dengan formula yang sama. Namun, di pertanyaan ketiga kalinya Yesus mengubah pertanyaan yaitu "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?". Kata mengasihi menggunakan kata fileó, dan Petrus menjawab aku mengasihi dengan kasih persahabatan. Lalu ia menangis. Kesedihan Petrus dapat berasal dari dua hal: Pertama, Yesus menanyai sampai 3 kali; kedua, perubahan penggunaan kata "mengasihi", karena Yesus tidak lagi menggunakan bentuk dari kata dasar "agapaó" ("mengasihi tanpa syarat") sebagaimana dalam pertanyaan pertama dan kedua, melainkan "fileó" ("mengasihi sebagai sahabat"). Petrus tetap menjawab "mengasihi" dengan bentuk kata "fileó" seperti jawabannya yang pertama dan kedua kali. Sebenarnya, pertanyaan Yesus kepada Petrus adalah pertanyaan yang penting untuk semua orang percaya (khususnya pemimpin Kristen), bahwa mereka harus memiliki kasih pribadi dari hati bagi Yesus dan pengabdian kepada-Nya.
Pemakaian nama lengkap, Simon Petrus dan Simon, anak Yohanes, memberi suasana khidmat pada percakapan ini. Dalam Matius 26:33 Petrus menyatakan bahwa komitmennya lebih besar daripada komitmen murid-murid yang lain. Sekarang Tuhan Yesus bertanya apakah dia masih yakin bahwa komitmennya lebih hebat daripada mereka. Apakah peristiwa yang terjadi pada waktu Tuhan Yesus diadili mengubahkan sikap Petrus mengenai kasihnya dan komitmennya kepada Tuhan Yesus? Oleh karena Petrus menyangkal Tuhan Yesus di depan orang lain, maka Tuhan Yesus mengampuni dia dan menahbiskan dia kembali ke dalam pelayanan di depan orang lain.
Pemberian tugas kepada Petrus bertujuan: Pertama, untuk memulihkan Petrus kepada jabatan kerasulannya, setelah ia bertobat dari penyangkalan sumpahnya atas jabatan tersebut dan untuk memperbarui amanat yang diterimanya, baik untuk meyakinkan diri sendiri, maupun untuk meyakinkan saudara-sudaranya. Kedua, hal itu dirancangkan untuk memulihkan Petrus agar ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang rasul dengan tekun. Ketiga, apa yang Kristus katakan, dikatakan-Nya kepada seluruh murid-murid-Nya.
b. Maria Magdalena
Secara manusiawi ketika seorang ibu menyaksikan anaknya ditangkap, dianiaya dan disalibkan adalah penderitaan yang amat besar dan mengandung luka mendalam. Jika diizinkan untuk menggantikan posisi sang anak, maka ia akan menanggung hukuman tersebut. Tangisan adalah ekspresi untuk menyalurkan kesedihan yang mendalam tersebut.
Di tengah kesedihan yang dialami oleh Maria Magdalena, maka Tuhan Yesus bertanya, ibu mengapa menangis? Siapakah yang engkau cari? (Yoh. 20:15). Kedua pertanyaan tersebut merupakan upaya Yesus untuk menyadarkan ibunya dan mengingat perkataan-Nya sebelum disalibkan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bagaimana Kristus pada akhirnya menyatakan diri-Nya kepadanya, dan dengan kejutan yang menyenangkan, memberinya keyakinan tak terbantahkan akan kebangkitan-Nya serta pemulihan secara holistik atas apa yang dialami sebelumnya.
c. Tomas
Nama Tomas itu artinya Mister Ragu-Ragu. Saat 2000 tahun lalu, yang diperingati oleh orang Kristen sebagai Jumat Agung, Tomas memang tidak ada, ia hanya melihat dari kejauhan. Dia melihat Yesus ditangkap, dianiaya dan mati di kayu salib, membuat jiwanya tergoncang. Guru dan Tuhan yang dikasihinya, telah diikuti 3,5 tahun (+), ternyata mati dengan cara tidak biasa. Secara manusiawi dia mengalami kekecewaan, hatinya hancur. Pengharapannya hilang, karena dia melihat panutannya (life model) mati tergantung di kayu salib. Dia begitu patah hati, sehingga ia tidak bisa bertatap muka dengan orang, namun harus menyendiri dengan kesedihan hatinya.
Di minggu pertama ketika Yesus menampakkan diri kepada murid-murid yang lain Tomas tidak ada, karena ia sedang mengatasi kekecewaannya di tengah kesendirian. Maka, ketika murid-murid menceritakan kepada Tomas tentang peristiwa itu, ia tidak percaya. Ia mengatakan bahwa sebelum ia melihat dan meraba sendiri bekas paku yang ada di tangan-Nya, dan mencucukkan tangan ke dalam luka-luka di bagian Yesus yang telah ditusuk oleh lembing, dia tidak akan dapat percaya bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Ia bersikeras dalam pesimismenya.
Namun, tatkala Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya secara pribadi kepada Tomas pada Minggu yang kedua dan disaksikan oleh murid-murid lain, menjadikan dia dipulihkan. Orang yang ragu diyakinkan. Hati Tomas meluap dengan kasih dan pujaan, dan yang dapat ia katakan hanya: “Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28). Yesus berkata kepadanya: “Tomas, engkau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri untuk percaya; tetapi harinya akan tiba bahwa orang akan melihat dengan mata iman dan percaya.Yesus tidak mengecam keras Tomas atas sikapnya yang ragu. Kendati bersikap skeptis, Tomas tetap setia kepada orang-orang percaya dan kepada Yesus sendiri.
Walaupun dia memiliki iman karena melihat, tetap dia menjadi pribadi istemewa di hadapan Tuhan. Menurut William Barclay setidaknya ada dua kebajikannya yang besar, yaitu: Pertama, dia secara mutlak menolak untuk mengatakan bahwa ia mengerti apa yang sebenarnya ia tidak mengerti, atau bahwa ia percaya mengenai apa yang ia sebenarnya tidak percaya. Kedua, kalau ia sudah yakin, ia tidak setengah-setengah.
Ahli sejarah menceritakan perjalanan Tomas setelahnya. Dia pergi menginjil ke Tigris (sekarang Irak), lalu ke Persia (Iran), dia memenangkan jiwa-jiwa. Pada tahun 52, dia berlayar ke selatan India, Malabar. Di sana dia memberitakan Injil kepada kasta Brahma dan waktu bangsa Portugis datang ke sana, ternyata ada kelompok Kristen yang merupakan hasil benih dari Tomas.
Hal senada dikemukakan oleh William Barclay, bahwa ada sebuah buku apokrif yang berjudul “The Acts of Thomas”, yang menurut buku itu isinya adalah sejarah Thomas. Ada sesuatu yang amat indah dan patut dikagumi mengenai Tomas ini. Iman tidak pernah merupakan hal yang mudah baginya. Ia tidak gampang menjadi taat. Dia harus mendapat kepastian; dia adalah orang yang harus menghitung harganya lebih dahulu. Akan tetapi sekali ia sudah mendapat kepastian, dan sekali ia telah menghitung harganya , dia adalah orang yang menjalani jalan iman dan kepatuhan sampai batas terakhir. Iman Tomas adalah lebih baik daripada dengan mudah menyetujui untuk melakukan sesuatu, tanpa menghitung harganya dan kemudian mundur dari persetujuan itu.
Tuhan Yesus sebagai pemimpin mampu mengubah hidup seorang peragu menjadi pionir perintisan dan pertumbuhan gereja di India. Sejatinya, kehadiran pemimpin Kristen dalam konteks apapun adalah membawa perubahan bagi orang-orang yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik dan bermakna. Selanjutnya, seorang pemimpin Kristen pasti bertemu dengan pelbagai orang, dengan kepribadian yang berbeda-beda serta permasalahan yang berbeda pula, maka kehadiran-Nya diharapkan membawa pemulihan secara holistik dengan pendekatan yang kontekstual.
Di samping itu, pemimpin Kristen yang hebat adalah pemimpin yang memulihkan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin Kristen harus menyadari bahwa mereka tidak hanya bertugas untuk mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi, memanejemen, menginspirasi, dan lain-lain, melainkan memulihkan juga. Ketika orang yang dipimpin mengalami pemulihan hidup dengan Tuhan, diri sendiri, sesama dan khususnya dengan pemimpin, maka proses dan hasil dari kepemimpinan itu pasti berjalan dengan baik.
B. Perdamaian / Rekonsiliasi (Yoh. 20:19, 21)
Kondisi murid-murid ketika Yesus menampakkan diri pasca kebangkitan adalah takut. Mereka bersembunyi, dan berkumpul di hari pertama Minggu itu dan mengunci pintu-pintu. Salah satu penyebab ketakutan mereka adalah adanya intimidasi dari orang-orang Yahudi. Yang menarik di tengah ketakutan, kecemasan, kebimbangan dan ketidakpastian mereka, Yesus hadir membawa damai sejahtera. Kata pertama dan kembali diulang oleh Tuhan Yesus pada para murid yaitu Damai sejahtera bagi kamu (Yoh. 19b & 21). Sesungguhnya, ketika Yesus menampakkan diri-Nya setelah kebangkitan, Dia ingin menyatakan bahwa Dia telah mengampuni para pengikut-Nya yang ingkar janji.
Ucapan damai sejahtera yang Dia berikan adalah ucapan biasa dalam bahasa Ibrani, namun dalam konteks ini ucapan damai sejahtera mengandung arti yang sangat penting. Sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam pasal 14:27, karena Dia telah mati dan bangkit, maka damai sejahtera itu sungguh dapat menjadi milik mereka. Morris mengamati bahwa mereka pasti terhibur dengan ucapan ini, karena perilaku mereka pada hari Jumat pasti merasa bahwa mereka layak ditegur, bukan layak diberkati dengan damai sejahtera.
Padanan kata Ibrani שָׁלוֹם - SHALOM adalah kata Yunani ειρηνη - EIRÊNÊ.
Kata ειρηνη - EIRÊNÊ ini secara konseptual bermakna : suatu keadaan tenang, damai, sentosa, misalnya tanpa huru-hara atau perang, keharmonisan antar individu, keamanan, keselamatan, kemakmuran. “Damai sejahtera” atau “shalom” mengacu kepada ketenangan atau perasaan pribadi bebas dari kekuatiran dan ketakutan.
Alkitab Perjanjian Baru Bahasa Asli Yunani menggunakan kata ειρηνη - EIRÊNÊ ini dalam delapan pengertian pokok, yaitu; Pertama, sebagai lawan dari kata perang dan perselisihan (Luk. 14:32). Kedua, keadaan tenang tanpa ancaman, gangguan, dan hambatan (Luk. 2:29). Ketiga, sehat, makmur, bahagia, dan segala keadaan yang baik (Luk. 1:79). Keempat, sejajar dengan kata שלום - SHALOM dalam Perjanjian Lama yang berarti selamat, sehat (Hak. 4:17). Kelima, Allah dinyatakan sebagai Allah Damai Sejahtera, bukan seperti seseorang yang memerlukan damai, tetapi Dia yang memberikan damai sejahtera (Ibr. 13:20). Keenam, Yesus Kristus adalah Pangeran Perdamaian - LAI menerjemahkan: RAJA DAMAI (Yes. 9:5). Ketujuh, karakteristik Perjanjian Baru mencerminkan bahwa damai sejahtera adalah milik orang percaya (Rom. 2:10; Yoh. 14:27). Kedelapan, kata ειρηνη – eirênê sering dipadankan dengan kata "αγαπη – agapê", "χαρις – kharis", dan sebagainya sebagai penegasan dan dipertentangkan dengan kebinasaan (2 Kor. 13:11).
Jika ditelusuri dalam kitab Injil dan Kisah Para Rasul, nampaknya setelah Tuhan Yesus memberikan Damai sejahtera bagi mereka, maka tidak lagi ada lagi dituliskan bahwa mereka takut. Justru mereka menjalani hidup dengan semangat, tenang dan memberitakan Injil dengan penuh keberanian.
Belajar dari kehidupan Yesus dalam memimpin murid-murid-Nya, maka pemimpin Kristen masa kini pun sejatinya mampu memberikan damai sejahtera tatkala orang-orang yang dipimpinnya sedang mengalami ketakutan. Kemampuan pemimpin Kristen dalam melepaskan orang yang dipimpinnya dari rasa takut akan mempengaruhi efektifitas, efisiensi dan produktifitas mereka. Dengan kata lain, Yesus Kristus adalah Juru Damai, dan damai itu telah Tuhan Yesus berikan ke dunia, yaitu kepada murid-murid-Nya sewaktu Ia naik ke Sorga, maka pemimpin Kristen sejatinya adalah pembawa perdamaian (Christian leader is peacemaker).
C. Konsolidasi (Yoh. 21: 5,6,9,12-13)
Istilah konsolidasi memang tidak secara gamblang dijelaskan dalam kitab Yohanes, bahkan nats kuat yang mengemukakan hal demikian secara tersurat tidak ada. Dapat juga dikatakan bahwa istilah ini dalam dunia kepemimpinan Kristen masih jarang dipakai, namun tidak bisa dipungkiri bahwa secara tersirat Yesus menekankan dan mendemonstrasikan konsolidasi pasca kebangkitan-Nya terhadap para pengikut-Nya (Yoh. 21:5,6,9;12-13).
Berdasarkan KBBI, konsolidasi adalah perbuatan (hal dan sebagainya) memperteguh atau memperkuat (perhubungan, persatuan, dan sebagainya). Jadi, inti dari pengertian konsolidasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperteguh, memperkuat, mempersatukan atau menghubungkan beberapa hal menjadi satu. Yang menjadi tujuan konsolidasi adalah untuk memperkuat elemen-elemen yang ada sehingga terbentuk kesatuan dan persatuan yang kuat. Biasanya dasar dari persatuan dan kesatuan yang terbentuk itu adalah karena memiliki visi yang sama.
Berdasarkan pengertian dan tujuan di atas bahwa konsolidasi yang dibangun dan dikembangkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika Ia bangkit dari kematian dan menampakkan diri di pelbagai tempat, cara dan orang selama 40 hari agar mereka dikuatkan dan diteguhkan kembali akan panggilan-Nya untuk melaksanakan visi-Nya, yaitu menjadi saksi bagi segala bangsa (Mat. 28:19-20; Kis. 1:8).
Kesatuan dan persatuan itu terjalin di antara pengikut-pengikut Kristus diantaranya kelompok murid 3 orang, kelompok murid 12 orang, kaum perempuan, 500 orang murid sekaligus. Mereka berasal dari pelbagai latar belakang, status sosial, ekonomi, pendidikan, dan bangsa; namun diarahkan untuk memiliki tujuan yang sama yaitu melanjutkan pekerjaan yang Tuhan Yesus lakukan selama 3,5 tahun (+) di dunia.
Secara sempit, tindakan Yesus dalam Yohanes 1:1-2 menyiratkan bahwa ia memperkokoh, memperteguh murid-murid-murid dalam mengiring-Nya. Dalam Yoh. 20:1-4 dikemukakan bahwa ketika Simon Petrus, Tomas, Natanael dan anak-anak Zebedeus dan kedua murid yang lain berkumpul di pantai untuk menjala ikan, namun mereka tidak menangkap apa-apa. Pada masa itu mereka merasa lelah, kecewa dan merasa gagal. Namun, Yesus menampakkan diri kepada mereka setelah bangkit dari kematian dan memerintahkan untuk menebarkan jala. Pada awalnya murid-murid merasa ragu dan memandang hal itu adalah tindakan sia-sia. Bahkan mereka menjelaskan bahwa telah menebar jala, namun tidak mendapatkan apa-apa.
Pertanyaan Yesus tentang lauk-pauk membuat murid-murid untuk mengikuti perintah Yesus agar menebarkan jalanya. Ketika jala ditebarkan, maka mereka mendapat banyak ikan. Di sini, secara jelas iman, pengharapan mereka dikuatkan dan diteguhkan. Pengalaman-pengalaman yang sebelumnya terjadi sebelum Yesus mati, terjadi lagi. Kasih dan kuasa-Nya dialami kembali.
Tindakan Yesus selanjutnya adalah makan bersama, sarapan. Makan bersama sebagai petunjuk ikatan keakraban, kesatuan dan persatuan. Tanpa penjelasan dari Yesus tentang siapa diri-Nya. Murid-murid pun mengetahui dan menyadari bahwa sosok yang ada di hadapan mereka adalah Tuhan Yesus. Tindakan Yesus pasca kebangkitan, akhirnya membangkitkan iman, kasih, pengharapan, semangat dan pengabdian mereka kepada Kristus dan sesama. Secara tidak langsung melalui peristiwa itu telah terjadi transformasi visi di antara murid-murid-Nya.
Dari perspektif Injil Yohanes, konsolidasi bisa berarti penguatan terhadap pengikut-pengikut Kristus agar mampu bersinergi dan memiliki visi yang sama seperti visi Tuhan Yesus. Demikianlah, sejatinya pemimpin-pemimpin Kristen masa kini agar melaksanakan konsolidasi terhadap pengikut-pengikut-Nya demi efektifitas, efisiensi dan produktifitas hasil yang dicapai.
D. Pendelegasian tugas (Yoh. 20:21, 21:15-17)
Kata delegasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti penyerahan, pelimpahan wewenang. Sedangkan mendelegasikan berarti melimpahkan wewenang. Jadi, mendelegasikan adalah penyerahan, pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari seseorang yang memiliki wewenang kepada orang lain. Charles J. Keating mengemukakan bahwa delegasi adalah pemberian sebagian tanggung jawab dan kewibawaan kepada orang lain. Mendelegasikan sebuah tugas menuntut sikap yang baik dan kepercayaan yang tinggi dari seorang pemimpin untuk mempercayakan sebuah tugas kepada bawahan-Nya. Dengan kepercayaan yang diberikan itu, maka bawahan akan bertanggung jawab penuh untuk menjalankan tugas yang diberikan dengan efektif.
Dalam Alkitab dikemukakan bahwa Petrus berjumpa dengan Tuhan Yesus pertama-tama melalui Andreas, saudara laki-lakinya (Yoh. 1:40-42). Ia berasal dari Betsaida, namun tinggal di Kapernaum, ketika Tuhan Yesus mengajaknya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai penjala ikan dan menjadi penjala manusia (Mat. 4:18-22). Petrus adalah juru bicara kelompok murid dua belas orang yang mengiringi Tuhan Yesus di sepanjang pelayanan-Nya (Mat. 18:21-22; Mrk. 8:27-30). Ia salah satu dari tiga orang terdekat, selain Yohanes dan Yakobus (Mat. 26:36-46; Mrk. 9:2-13). Tetapi ketika Tuhan Yesus ditangkap dan diadili, menyangkal mengenal Dia (Mat. 26:69-75). Padahal sebelumnya ia telah berjanji dan mengucapkan bahwa ia akan setia mengiring Tuhan Yesus sampai mati (Yoh. 18: 15-18; 25-27; Mat. 26:30-35). Namun, ketika Tuhan Yesus bangkit dari antara orang mati, Ia kembali meneguhkan dan memberikan tugas baru (prinsip pendelegasian) bagi Petrus, yakni tugas untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh. 21:15-21).
Itu sebabnya, dapat dikatakan bahwa titik balik Petrus memikirkan dan mendemonstrasikan diri sebagai pemimpin umat adalah ketika Tuhan Yesus memerintahkan Petrus untuk menggembalakan kawanan domba milik-Nya (Yoh. 21:15-17). Petrus menjadi pemimpin jemaat yang baru lahir, sebagaimana telah dinubuatkan Tuhan Yesus (Mat. 16:13-20). Menurut laporan Alkitab dialah yang pertama-tama memberitakan Injil (Kis. 2). Setelah memberitakan Injil, mengajar, dan menggembalakan jemaat seumur hidupnya.
Bagi Petrus Tuhan Yesus adalah Mesias, Juru selamat umat manusia yang berdosa (Mat. 16: 13-12). Ia pun memiliki semangat yang berkobar-kobar untuk memberitakan Injil bagi mereka yang belum menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat-Nya (Kis. 2: 14-17). Petrus merasa bebas untuk melayani orang-orang bukan Yahudi (Kis. 10), namun ia lebih dikenal sebagai rasul bagi orang Yahudi (Gal. 2:8). Di samping itu, Petrus juga memandang Tuhan Yesus sebagai Gembala Agung. Dalam surat Petrus ke kelompok-kelompok orang Kristen yang tersebar di lima propinsi Romawi, nampak jelas bahwa ia memandang Tuhan Yesus Sebagai Gembala Agung (Pemimpin) bagi umat-Nya. Pesan Petrus pun mengandung penghiburan, pengharapan, dan dorongan untuk tetap gigih dan tegar , sebagai gambaran dari keunikan seorang gembala. Hal ini diteguhkan oleh pandangan Morris sebagai berikut:
Petrus banyak berbicara tentang Tuhan kita dan tentang karya penyelamatan-Nya. Petrus menyebut Dia “gembala dan pemelihara jiwamu” (2:25)...begitu juga halnya dengan “Gembala Agung” (5:4), yang hanya terdapat di sini dalam seluruh PB penulis yakin akan kedudukan tinggi yang dimiliki Kristus, tetapi ia yakin juga bahwa Kristus mengasihi umat-Nya dan senantiasa memelihara mereka (2001:441).
Tuhan Yesus sebagai “Gembala Agung” mendapat tempat dalam firman Tuhan yang ditulis oleh Petrus, yakni kitab 1 Petrus. Moris menambahkan bahwa Tuhan Yesus adalah gembala utama. Selain itu, kitab Ibrani juga membicarakan bahwa Ia adalah Gembala Agung (Ibr. 13:20). Tidak ada lagi penulis lain yang menyebut Kristus sebagai Gembala Agung.
Di kemudian hari Rasul Petrus meneruskan pesan Tuhan Yesus dan memerintahkan (prinsip pendelegasian) agar para penatua ) menggembalakan domba-domba yang dipercayakan Allah kepada mereka. Dalam Handbook To The Bible sebagai seorang pemimpin dan seorang saksi mata peristiwa penyaliban Kristus – Rasul Petrus mengimbau segenap pemimpin jemaat agar mempunyai “jiwa seorang gembala” yang sejati (5:1-4; Yoh. 10 dan 21:15). Ia mengajak para pemimpin gereja setempat untuk menunaikan tugas dengan penuh kerelaan hati, kegembiraan dan menjadi teladan.
Dari perintah “feed my sheep” yang disampaikan Yesus kepada Petrus tentang makanan (food) dan memberi makanan (Feed) menjadi persoalan yang sangat penting (Yoh. 21). Makanan yang dimaksudkan di sini bukanlah mengacu pada makanan fisik, namun pada makanan Rohani. Allah menghendaki agar gembala-gembalanya (pemimpin Kristen) memberikan makanan sehat (ajaran sehat) bagi domba-domba yang digembalakannya. Dalam 1 Petrus 5:2 dan Yohanes 21:15-19 dapat dilihat bahwa kawanan domba Allah dipercayakan kepada para pribadi yang memiliki domba-domba Allah. Pertanggungjawaban seseorang tentang menggembalakan sesama manusia tidak semata-mata dipertanggungjawabkan kepada diri sendiri, sesama, namun juga kepada Allah.
Dalam nasehatnya terhadap para penatua, khususnya dalam 1 Petrus 5:1-4 terdapat prinsip dalam menggembalakan “domba” yang dipercayakan Allah, yakni:
Pertama, tindakan gembala. Tindakan atau sikap seseorang yang menggembalakan adalah dengan tidak paksa, namun sukarela (ay. 2). Artinya, tidak diperbolehkan apabila dasarnya adalah keterpaksaan atau ada pihak yang menekan. Gembala bertindak seperti Allah sendiri. Dengan kata lain, mereka menyadari bahwa yang “digembalakan” adalah “domba-domba” milik Tuhan dan bukan milik mereka sendiri sehingga mereka melakukan tugasnya dengan sukarela dan bukan karena terpaksa.
Kedua, motivasi gembala. Kata yang dipakai untuk melukiskan pengabdian adalah ingin dan cepat mengerjakan tanggung jawabnya tanpa memikirkan upahnya. Melaksanakan peran, tugas dan tanggung jawabnya bukan semata berdasarkan gaji atau tuntutan atasan yang diberikan kepadanya, sebab yang menjadi fokus dan motivasinya adalah mendedikasikan hidup dan pelayanannya, di dalam kasihnya kepada Tuhan.
Ketiga, cara atau pendekatan gembala. Cara yang dikemukakan oleh Petrus adalah bukan memerintah, namun menjadi teladan. Sinonim dari kata teladan adalah pola, model atau percontohan hidup. Wheaton & Rikin dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu mengetengahkan bahwa memerintah menyatakan sikap yang lazim pada orang atasan dalam kekuasaan duniawi (Mrk. 10:42), di mana kata kerja sama yang dipakai), tetapi pemimpin Kristen, bukannya mempunyai wewenang tanpa batas dan memeras orang-orang yang dipercayakan kepadanya, melainkan wajib menjadi teladan yang memberikan kepada mereka segala sesuatu yang dapat dilayankannya dalam bidang pengajaran, pembinaan rohani, dsb. Artinya, seorang yang menggembalakan komunitas tertentu harus menghadirkan pengajaran-pengajaran yang mulia itu dalam kesehariannya baik itu dimensi spiritualitas, moral, sosial, emosional, dll. Gembala domba selalu berjalan di depan, dan domba akan mengikuti dari belakang.
Terkait dengan 1 Petrus 5:1-4, Calvin mengemukakan ada tiga tugas gembala yang sangat mendesak yakni kemauan/kesigapan untuk memperhatikan, kemurahan, dan kelemahlembutan. Pada umumnya para gembala melakukan kebalikannya yakni kemalasan, keinginan akan keuntungan, dan nafsu untuk kekuasaan. Beliau menuturkan:
In exhorting pastors to their duty, he points out three vices specially which are often to be found, namely sloth, desire for gain, and lust for power. Against the first vice he sets alacrity or a willing attention; against the second, liberality; and against the third, moderation and meekness, by which they are to keep themselves in their proper place (1963:314).
Dalam konteks masa kini pun kepemimpinan sangat berhubungan dengan bagaimana seorang dapat mendelegasikan tugas dengan baik kepada bawahan-Nya. Kartini Kartono dalam bukunya mengemukakan bahwa pemimpin harus mengenal dengan baik sifat-sifat pribadi para pengikutnya, dan mampu menggerakkan semua potensi dan tenaga anak buahnya seoptimal mungkin dalam setiap gerak usahanya, demi suksesnya organisasi, juga bisa mengembangkan dan memajukan penganutnya menuju progres dan kesejahteraan.
Kemampuan untuk mendelegasikan tugas merupakan suatu keterampilan atau seni yang penting untuk dimiliki oleh setiap pemimpin. James Kouzes dan Barry Posner dalam bukunya, mereka memaparkan bahwa setiap pemimpin, setiap orang harus berinisiatif untuk mengidentifikasi kontribusi-kontribusi individu, merayakan berbagai penyelesaian tugas, dan menciptakan atmosfer kepercayaan diri dan dukungan.
Dalam Yohanes 20:22-23 jelas dikemukakan bahwa Yesus tidak hanya mendelegasikan tugas atau mengutus untuk memasuki ladang pelayanan-Nya, namun juga ditopang, dimotivasi, diikutsertakan, dimantapkan, diberi visi, dan ditempatkan dalam jaringan kerja oleh Dia yang mengutus.
III. PERILAKU KOMUNITAS MURID DAN PENGIKUT-NYA
A. Kecenderungan Hidup Bersama-sama
Sesudah Tuhan Yesus mati di kayu salib, para murid mengalami ketakutan yang besar, namun di saat itulah itulah mereka menjalani kehidupan secara bersama-sama. Pasca kebangkitan-Nya kebiasaan itu pun diperkuat dan diperteguh.
Semenjak saat itu perkumpulan yang mereka bangun tidak lagi karena ketakutan atau bingung tentang apa yang harus mereka lakukan; melainkan atas dasar kesadaran bahwa mereka dipanggil untuk dipersiapkan bekerja dalam menunaikan Amanat Agung dari Sang Guru Agung, Yesus Kristus (Mat. 28:19-20; Kis. 1:8).
Alasan para murid berkumpul setelah Yesus mati adalah karena takut terhadap khalayak yang menolak dan membunuh Yesus; berubah menjadi pembangunan persaudaraan untuk siap diutus mewartakan kebangkitan Yesus. Yesus disalibkan mestinya para murid merasa tertekan dan tanpa harapan. Namun, ternyata setelah Yesus bangkit, dalam kurun waktu 40 hari kecenderungan murid yang hidup bersama-sama merupakan proses persiapan para murid untuk diubah menjadi saksi Kristus.
B. Pengaruh Petrus
Petrus pertama kali diperkenalkan oleh Andreas, saudaranya, kepada Tuhan Yesus. Kemudian, ia dipanggil menjadi murid ketika ia sedang menjala ikan.Tuhan Yesus memberi Petrus nama baru, Kepha atau Kefas, dari bahasa Aram (Yoh. 1:41-42). Ada banyak nas dalam Alkitab yang selalu menyebutkan Petrus sebagai yang pertama dari para murid (Mat. 10:1-4; Mrk. 3:16-19; Luk. 6:14-16; Kis. 1:13). Ada juga para murid ditulis dengan pernyataan “Petrus dan teman-temannya” (Luk. 9:32). Bahkan Petrus sering berbicara atas nama semua murid (Mat. 18:21; Mrk. 8:29; Luk. 12:41; Yoh. 6:69).
Sebelum Yesus mati di kayu salib, Petrus adalah salah satu dari kelompok 3
orang, kelompok 12 orang, dan kelompok 70 orang yang paling dekat dengan Tuhan Yesus. Dia adalah seorang yang bertemperamen sanguinis. Mudah terbakar semangatnya, namun mudah padam. Sejak dipanggil oleh Tuhan Yesus menjadi murid-Nya, dia adalah seorang yang aktif, agresif dan vokal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa dia adalah pemimpin dan juru bicara di antara murid-murid. Walaupun di dalam Alkitab tidak pernah dicatat bahwa dia dipilih sebagai pemimpin, namun dalam praktiknya Petrus memimpin murid-murid.
Kedudukan dan peran Petrus sebagai pemimpin di antara murid-murid, pengikut-Nya / gereja mula-mula semakin nyata ketika Tuhan Yesus meneguhkan Dia untuk melanjutkan pekerjaan-Nya di dunia untuk menggembalakan domba-domba (Yoh. 21). Petrus dengan sendirinya diterima oleh para murid sebagai pemimpin. Kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan Petrus seringkali dilakukan karena sifatnya yang kurang sabar; tetapi pengaruhnya besar di kalangan para murid.
Apa yang dilakukan Petrus pasca kebangkitan Kristus ditiru oleh para rasul. Kemana Petrus pergi, yang lain pun mengikuti dia. “Aku pergi menangkap ikan,” kata Petrus, kami pergi juga dengan engkau,” jawab murid-murid yang lain. Perilaku kepemimpinan yang bisa dilihat dari Petrus adalah bahwa dialah penggagas untuk memilih murid pengganti Yudas Iskariot (Kis. 1:13-26), pengkhotbah KKR pertama (Kis. 2:14-47), dialah juga yang memegang otoritas untuk mendisiplin jemaat (Kis. 5:1-11) dan pemimpin sidang pertama di Yerusalem (Kis. 15:). Pasca kebangkitan Yesus sampai menjelang kematiannya, dia berperan sebagai pemimpin umat.
IV. PENUTUP
Pemimpin memiliki kedudukan dan peran sentral. Kemajuan sebuah organisasi atau ketercapaian sebuah visi dan misi tergantung pada kepiawaian seorang pemimpin dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi teori dan praktik kepemimpinannya. Bagaimana seorang pemimpin memperlengkapi, memobilisasi, memaksimalkan potensi, dan menghubungkan semua pihak turut menentukan keberhasilan.
Realitanya, kecenderungan pemimpin Kristen saat ini ketika membangun dan mengembangkan teori dan praktik kepemimpinan adalah dengan memakai pandangan dari pakar-pakar sekuler, namun sebenarnya dapat menggali dan mendemonstrasikan gaya kepemimpinan berdasarkan Alkitab, khususnya Yohanes. Dalam Injil Yohanes dikemukakan bahwa seorang pemimpin Kristen harus belajar dari Yesus pasca kebangkitan, karena Ia adalah pemimpin agung, yang telah mendemonstrasikan pemulihan, perdamaian, konsolidasi dan delegasi terhadap orang-orang yang dipimpinnya sehingga mereka mampu bersinergi untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu melaksanakan Amanat Agung.
Pada masa kini banyak orang mengalami krisis ketika melepaskan sebuah jabatan atau kedudukan. Dalam hal ini mereka bisa belajar dari Tuhan Yesus tentang prinsip kepemimpinan yaitu siap untuk memperlengkapi dan mendelegasikan tugas bagi pengikutnya. Bahkan bukan hanya itu saja, sebagai pemimpin Kristen yang revolusioner harusnya melahirkan pengganti, terbuka terhadap perubahan, mempersiapkan pemimpin masa depan dan siap menyerahkan kepemimpinan. Premis atau dalil dasar kepemimpinan Kristen adalah berlandaskan ajaran Alkitab.
DAFTAR PUSTAKA
Baker Warren & Eugene Carpeter (ed), The Complete Word Study Dictionary Old
Testament, AMG Publisher, 2003.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap hari – Injil Yohanes Pasal 8-21.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Bruce, F.F. et. al. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2006.
Carson, DA Gospel According to John - Inter-Varsity Press, Leichester, England dan
William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1991.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007).
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Hagelberg, Dave. Tafsiran Injil Yohanes (Pasal 13-21) Dari Bahasa Yunani
Yogyakarta: Andi, 2005.
http://www.sarapanpagi.org/damai-shalom-eirene-vt8548.html. Diunduh 02 Juli 2019.
Handbook to the Bible. Bandung: Kalam Hidup, 2004.
http://www.sarapanpagi.org/damai-shalom-eirene-vt8548.html. Diunduh 02 Juli 2019.
Henry, Matthew Tafsiran Matthew henry Injil Yohanes 12-21. Surabaya: Momentum,
2010.
J. Keating, Charles. Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya.
LAI. Alkitab Edisi Studi. Jakarta: IKAPI, 2014.
LAI. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Malang: Gandum Mas, 2014.
Mark J. Boda, Gordon T. Smith , Repentance in Christian theology, 2006.
The Full Life Study Bible. Life Publishers International. 1992.
Moris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Oswald, Sander, J. Kepemimpinan Rohani. Bandung: Kalam Hidup, 1979.
Ruck, Anne Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Wikipedia, https://kbbi.web.id/konsolidasi, diunduh 1 Juli 2019, pukul 10.00 WITA.
Wikipedia, https://kbbi.web.id/delegasi. Diunduh 1 Juli 2019, pukul 11.52 WITA. Bdk.
Zodhiantes, Spiros (ed), The Complete Word Study Dictionary New Testament, AMG
Publisher, 2003, Hal: 435-436.
SELAMAT MEMBACA!
BalasHapus