BERKAT ATAU BATU SANDUNGAN?
BERKAT ATAU BATU SANDUNGAN-------------
MATIUS 13:24-30
Alon M. Nainggolan
Apakah kita saat ini lebih dominan menjadi berkat atau batu sandungan? Apakah kita selama ini peka dengan dampak dari kehadiran kita kepada orang lain? dikisahkan, ada seorang anak muda yang mempunyai temperamen yang tinggi. Seringkali karena hal-hal sepele, dia mudah tersinggung dan marah, bahkan bila perlu berkelahi dengan orang lain yang dianggap telah menghinanya. Orangtuanya berkali-kali menasihati agar belajar bersabar dan mau mengerti orang lain, namun si anak tidak menggubris dan menganggapnya sebagai angin lalu. Suatu hari saat berkendara di jalan raya, sepeda motor yang dikendarai bersama temannya dilanggar oleh orang lain. Sifat pemarahnya pun muncul. Dengan perasaan jengkel, segera saja motor itu dikejar dan dipepet dengan tingkah sok jagoan. Merasa dirinya menang, saat menyaksikan orang tadi meminggirkan motornya, dia pun tancap gas sambil tertawa terbahak-bahak.
Tidak lama kemudian terdengar teriakan nyaring disertai bunyi benda terjatuh keras. Rupanya karena tidak konsentrasi pada jalanan, terjadilah kecelakaan yang melukai dirinya sendiri serta temannya yang dibonceng. Akibat kecelakaan itu, teman yang dibonceng terpental dan mengalami luka yang cukup parah. Dia sendiri hanya mengalami luka ringan, sedangkan motornya rusak sampai tidak karuan. Saat menengok teman yang dirawat di rumah sakit, dia berjumpa dengan orangtua temannya. Dengan tersipu malu dia berkata, “Maafkan saya pak, bu. Saya yang mengendarai dan merusakkan motornya, serta mencelakai Anto. Semua salah saya. Saya akan berusaha meminta orangtua saya untuk membantu biaya perbaikan motor dan biaya perawatan di rumah sakit ini. Ayah si teman menjawab dengan sabar, Anak Muda bapak tidak mempermasalahkan biaya rumah sakit dan biaya perbaikan motor. Walaupun harus mengeluarkan uang, itu semua bisa diselesaikan.
Yang penting, kita harus bersyukur karena kalian masih selamat dan hanya mengalami luka-luka yang tidak membahayakan nyawa. Bapak hanya ingin mengingatkan kepada kalian, bahwa hidup ini adalah berkat! Berkat yang tidak boleh disia-siakan oleh siapapun. Maka paling sedikit, berusahalah bermanfaat bagi dirimu sendiri. Jika kalian merasa belum bisa menjadi berkat bagi orang lain, ya setidaknya cobalah jangan menjadi batu sandungan untuk orang lain. Dengan berkendaraan ugal-ugalan, bukan hanya tidak menghargai berkat yang diberikan Tuhan, kalian juga telah menjadi batu sandungan bagi orang lain. Itu sungguh hidup yang sia-sia.
Perumpamaan ini menceritakan tentang seorang yang menaburkan benih gandum yang baik di ladangnya. Dikisahkan bahwa ketika semua orang tidur, musuhnya datang lalu menaburkan benih lalang di antara benih gandum itu lalu pergi. Kedua tanaman itu tumbuh bersama, lalu hamba penabur tersebut menanyakan asal benih lalang tersebut yang dijawab oleh tuannya bahwa benih lalang tersebut ditabur oleh musuhnya. Hamba-hambanya lalu mengusulkan untuk mencabuti lalang tersebut namun tidak diijinkan karena sang tuan tidak mau benih gandum yang baik ikut tercabut bersama-sama dengan lalang tersebut. Sang tuan lalu berkata bahwa lebih baik mereka dibiarkan tumbuh bersama hingga masa penuaian, di mana keduanya dipisahkan, lalang akan diikat lalu dibakar, gandum akan dikumpulkan dalam lumbung.
Yang menarik adalah bahwa teks selanjutnya di ayat 38 dengan jelas disampaikan langsung oleh Yesus bahwa benih yang baik itu adalah “anak kerajaan” dan lalang adalah “anak-anak si jahat”. Itu berarti jelas bahwa identitas kita sebenarnya adalah anak-anak-kerajaan atau anak-anak terang. Hal ini hendak menegaskan siapa sebenarnya diri kita yang telah Tuhan pilih untuk diselamatkan, karena pada akhirnya nanti akan dipisahkan antara gandum dan lalang. Gambaran-gambaran yang digunakan Yesus dalam perumpamaan ini jelas dan mudah dimengerti orang-orang Galilea atau oleh para pendengar yang terbiasa dengan konteks pertanian masyarakat Palestina. Lalang atau yang biasa disebut “darnel” berjanggut (Latin:ioliun temulentum), bagi petani adalah semacam “kutukan” yang harus dibasmi. Sebab lalang adalah tanaman pengganggu yang akan “merebut” hara dalam tanah dan mengganggu pertumbuhan gandum yang ditanam petani.
Lalang yang biasanya tumbuh bersama gandum ketika masih kecil sulit dibedakan sehingga petani akan memilih untuk tidak mencabut apa yang disangkanya lalang, sebab bisa saja gandumlah yang dicabut dan lalang dibiarkan bertumbuh. Maka lalang dibiarkan tumbuh bersama gandum. Sekalipun pasti yang sangat merugikan pertumbuhan gandum karena hara atau pupuk yang ditabur untuk gandum turut dinikmati lalang tersebut. Lalang baru bisa dibedakan dari gandum saat keduannya sama-sama berbuah.
Berangkat dari konteks tersebut maka sampai saat ini kita kembali diingatkan untuk selalu menyadari siapa jati diri kita sebenarnya di hadapan Tuhan dan sesama. Jati diri sebagai benih yang baik atau gandum menjadi identitas yang sepatutnya membuka mata hati kita akan panggilan kita sehingga pada akhirnya mempengaruhi segala aspek/tindak tanduk kita dalam kehidupan yang saat ini Tuhan percayakan. Apakah kita sebagai anak, sebagai teman, orangtua, bawahan, atasan, tetangga, dll. Apakah kita sedang berada di lingkungan keluarga, gereja, sekolah, masyarakat, pekerjaan, dll. Identitas kita dari awal sebenarnya sudah jelas, namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya mereka yang dikategorikan sebagai gandum berlaku seperti ilalang. Mereka lupa dengan jatidiri awal mereka, sehingga yang terjadi adalah banyak di antara mereka yang hanya mendatangkan batu sandungan bagi sesama mereka sendiri. Alih-alih mendatangkan kebaikan bagi orang di sekitarnya, malah mendatangkan keburukan. Mereka dipercayakan hikmat, karunia dan talenta oleh Tuhan untuk dibagikan kepada sesama malah mendatangkan hal negatif, pertikaian, masalah, dll.
Menyadari semua panggilan kita tersebut, maka saat ini kita kembali diingatkan untuk kembali ke maksud dan tujuan utama mengapa Tuhan menghadirkan kita di tengah-tengah umat manusia lainnya yang tidak lainnya adalah untuk saling mendatangkan berkat satu dengan yang lain bukan sebaliknya , malah menjadi batu sandungan.
Selamat membaca!
BalasHapus