MENGAMPUNI SEPERTI YUSUF
MENGAMPUNI SEPERTI YUSUF
KEJADIAN 50:15-21
Alon Mandimpu Nainggolan, M.Th.
Ada pepatah yang mengatakan “melakukan kesalahan manusiawi, namun mengampuni itu adalah ilahi”. Maksud dari pepatah ini adalah wajar atau lazim kalau manusia melakukan kesalahan, namun adalah sifat ilahi jikalau manusia bisa mengampuni. Dalam relasi kita dengan sesama, tak dapat dipungkiri pelanggaran dan kesalahan selalu terjadi setiap hari, baik yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan maupun yang orang lakukan, katakan, dan pikirkan. Apakah kita tidak bisa mengampuni dengan alasan bahwa kita hanyalah manusia biasa, bukan manusia dengan watak/karakter ilahi?
Jika diperhatikan: pengampunan merupakan suatu tema besar dalam Alkitab. Kita tidak dapat memahami kekristenan tanpa memahami pengampunan. Kita tidak dapat menghayati kasih Kristus tanpa mengalami pengampunan. Kita tidak dapat mengerti arti kematian Yesus di kayu salib tanpa berkaitan atau menghubungkannya dengan pengampunan. Kita tidak dapat menjadi murid Kristus tanpa mengalami dan memberi pengampunan. Dalam kekristenan pengampunan atau mengampuni adalah salah satu kosa kata yang sangat umum dan hampir semua orang Kristen mengenal kata ini, namun ini sangat tidak mudah dipraktikkan/diterapkan. Mengampuni merupakan suatu konsep yang kompleks mencakup gejolak emosi, dan nilai-nilai moral, khususnya rasa dan tuntutan keadilan.
Namun, hari ini kita diinspirasi dan dimotivasi oleh seorang pribadi yaitu Yusuf, yang adalah manusia biasa, manusia yang tidak sempurna, namun mampu memberikan pengampunan secara terus-menerus dalam situasi, konteks, dan objek yang berbeda berdasarkan iman dan ketaatan kepada Allah. Hal ini terbukti ketika dia mengalami masa-masa sulit dan menyakitkan namun ia tetap memilih untuk mengampuni. Misalnya, walaupun dia menyaksikan orangtuanya harus lari diam-diam meninggalkan kakeknya Laban. Walaupun dia juga menyaksikan kakeknya mengejar ayahnya yang melarikan keluarga dan ternak kakeknya. Yusuf melihat ketakutan seisi rumahnya ketika melihat pamannya, Esau, datang (Yakub dan Esau hidup dalam permusuhan). Yusuf juga melihat peristiwa yang sangat memilukan hatinya ketika Dina, kakaknya diperkosa. Dia diperlakukan oleh saudara-saudaranya dengan tidak adil, bahkan dijual saudara-saudaranya sebagai seorang budak, difitnah oleh isteri Potifar, dan dipenjarakan serta dilupakan oleh juru minuman yang pernah dia tolong. Namun, Yusuf selalu memutuskan untuk mengampuni. Ia tidak merasa dendam atau marah atas situasi tidak adil yang menimpa keluarganya dan dirinya sendiri.
Sesungguhnya dalam konteks Kejadian 50:15-21 Yusuf memiliki posisi yang strategis untuk membalas dendam kepada saudara-saudaranya, sebab dia adalah orang nomor dua di Mesir. Satu tanda tangan, satu statement saja yang dikeluarkan, maka nasib setiap orang, termasuk saudara-saudaranya bisa berubah. Namun, itu tidak ia lakukan. Sebab Ia menyadari bahwa pembalasan/penghakiman bukanlah hak manusia, tetapi Allah (ay. 19). Yusuf selalu melihat segala sesuatu dari perspektif Allah (ay. 20), sehingga memampukannya untuk melepaskan pengampunan. Ia menyadari bahwa Ia sudah terlebih dahulu beroleh belas kasihan dan pengampunan dari Allah, maka Ia juga bertugas untuk memberikan pengampunan kepada saudara-saudaranya dan orang lain.
Mengapa kita harus mengampuni? Padahal kalau dilihat dalam konteks budaya (ay. 15), dan fenomena di dunia, tidak mengampuni adalah suatu hal yang lumrah. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Serial-serial di televisi, baik drama, kungfu, action menggambarkan bagaimana dendam, kebencian, kepahitan itu dipelihara, diwariskan, secara turun-temurun. Membalas dendam dan menyimpan kesalahan orang lain adalah reaksi yang otomatis pada diri manusia terhadap suatu pelanggaran. Mengapa orang Kristen harus mengampuni?
1. Sebab mengampuni merupakan suatu tuntutan Allah bagi kita. Dengan naluri yang alamiah seseorang akan bereaksi membela diri ketika ia dilukai, dirugikan, dikecewakan, atau diperlakukan dengan tidak adil. Secara manusiawi dan alamiah seseorang tidak bersikap penuh kemurahan dan pengertian terhadap orang lain yang telah membuat kesalahan atau kerugian. Sehingga tuntutan agar mengampuni tidaklah mudah karena dianggap sering kali tidak masuk akal. Namun, ketika hal ini terjadi kita harus mengampuni (Mat. 6:14-16; Mrk. 11:25). Pembalasan dan kebencian adalah tindakan yang dapat diduga. Tetapi pengampunan adalah tindakan yang tidak dapat di duga. Karena ini memang bukan sifat manusia yang alamiah, dan sudah jatuh ke dalam dosa. Sebagai orang yang sudah mengalami pengampunan dari Allah dan mengalami pembaharuan dalam kodrat Allah (2 Petrus 1:4), maka tidaklah berlebihan jika Allah menuntut kita memiliki sifat ilahi ini yaitu mau dan bisa mengampuni.
2. Apakah mengampuni merupakan pilihan dan kehendak yang disadari atau hanya sebagai perasaan dan keadaan nyaman secara emosi? Mengampuni adalah adalah suatu pilihan kehendak yang berdasarkan motivasi untuk menaati firman Allah (Kolose 3:13). Mengampuni merupakan tindakan mental dan batiniah yang aktif bukan tindakan pasif yang terjadi begitu saja. bahkan mengampuni sering dilakukan dengan memaksa diri demi menaati kehendak Allah. Jadi, persoalan bagi orang Kristen bukan apakah kita bisa mengampuni atau tidak bisa mengampuni, melainkan apakah kita mau mengampuni atau tidak mau mengampuni? Sesungguhnya hidup sebagai murid Kristus kita tidak punya pilihan lain kecuali kita harus meneladani Kristus yaitu mengampuni.
3. Bagaimana kita bisa mengampuni?
Apakah kita dapat mengampuni dengan begitu saja dan seketika kita hendak mengampuni? Belum tentu. Namun, bagaimana dalam anugerah Allah pasti dimampukan kehendak-Nya yaitu mengampuni karena mengampuni berdasarkan iman dan ketaatan. Kita harus percaya pada Allah untuk melakukan hal ini sehingga dapat segenap hati memberikan pengampunan. Seringkali mengampuni merupakan suatu proses yang panjang dan menuntut kesabaran. Mengampuni haruslah berfokus pada anugerah Allah yang menjadikan kita mengalami pengampunan dan mengubah hidup kita.
4. Bagaimana mengetahui bahwa kita telah sungguh-sungguh mengampuni?
Lewis mengatakan “Jika Anda membebaskan orang berbuat salah dari kesalahannya Anda mengeluarkan tumor akut dari kehidupan batinmu. Anda membebaskan seorang tawanan, namun Anda menemukan bahwa tawanan yang sesungguhnya adalah diri Anda sendiri”. Kita sungguh-sungguh sudah mengampuni jika kita mengalami kebebasan batin. Kita adalah orang yang paling menderita jika tidak mengampuni. Penyebab psikosomatis adalah tidak mau mengampuni. Jika kita mengampuni, maka Tuhan akan membebaskan kita dari kemarahan, kepahitan, dendam, dan rasa sakit hati. Namun, mengampuni seringkali bukanlah tindakan yang dapat dicapai dengan seketika atau dalam waktu yang singkat. Mengampuni merupakan suatu proses dalam waktu, bahkan bagi sebagian orang ini merupakan proses yang sangat panjang.
Pengampunan seperti iman, kita harus terus menghidupkan dan menumbuhkannya dalam kehidupan kita, baik dalam konteks keluarga, sekolah, pekerjaan, gereja, bermasyarakat, maupun berbangsa. Kiranya, melalui penyerahan diri secara total kepada Allah dan pertolongan Roh Kudus kita dimampukan untuk menaati kehendak-Nya yaitu MENGAMPUNI.
SOLI DEO GLORIA
Semoga bermanfaat bagi para pembaca...๐๐๐
BalasHapus