PEMBINA WARGA GEREJA YANG BERKUALITAS
SERI PEMBINAAN WARGA GEREJA
PEMBINA WARGA GEREJA YANG BERKUALITAS
Alon M. Nainggolan, M.Th.
PENGANTAR
Pembahasan judul ini dilatarbelakangi adanya asumsi bahwa banyak gereja-gereja maupun para pelayan Tuhan belum bisa memenuhi persyaratan seorang pembina warga gereja secara ideal, dan pergumulan gereja saat ini yang membutuhkan pencerahan pengertian. Diharapkan melalui tulisan ini pembaca memperoleh pengetahuan, pemahaman dan wawasan luas tentang pembina warga gereja yang berkualitas. Pentingnya kualitas pembina warga gereja untuk diperhatikan karena turut menentukan pertumbuhan warga gereja baik secara kualitas maupun kuantitas. Khususnya, kedewasaan secara spiritualitas sangat ditentukan oleh siapa pembinanya.
Pemilihan dan penetapan pembina warga gereja mestinya melalui seleksi yang ketat. Terpilih bukan karena daripada tidak ada pembina, status sosial, jabatan dan kedudukan di dalam masyarakat semata melainkan dipengaruhi sejauhmana mereka berkualitas dalam dimensi spiritualitas, kepribadian, moral, emosional, komunikasi, sosial, dan profesional. Hal ini bertujuan agar warga gereja dapat bertumbuh dalam iman yang sehat melalui pengajaran Alkitab. Sebab warga gereja lebih terinspirasi dan termotivasi belajar dari teori dan praktik hidup pembinanya.
Alkitab sangat jelas memperhatikan pembina warga gereja yang berkualitas (Kis. 2:2-7; 1 Pet. 5:1-4; 1 Tim. 3:1-7). Hal ini nampak dari tokoh-tokoh dalam Alkitab yang terlibat dalam pekerjaan Tuhan senantiasa yang memenuhi standar tertentu. Mereka haruslah menjadi orang yang patut diteladani (Mat. 7:28-29; 2 Tim. 4:12). Itu sebabnya, gereja perlu memperlengkapi dan membenahi para pembina warga gereja di masa kini dan mendatang agar mampu melaksanakan peran, tugas dan tanggung jawabnya dengan berkualitas.
Memperlengkapi para pembina warga gereja ini merupakan tugas yang mendesak mengingat zaman senantiasa berubah, kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh warga jemaat juga semakin kompleks. Hanya pembina warga gereja yang berkualitaslah yang tetap eksis, memberi sumbangsih positif, dan bertahan di tengah derasnya arus zaman.
A. PEMBINA WARGA GEREJA yang BERKUALITAS DARI PERSPEKTIF ALKITAB (1 TIMOTIUS 3: 1-7).
Samuel Benyamin mengungkapkan bahwa secara tradisional, surat ini dipandang sebagai tulisan Paulus sesuai dengan nama pengirim yang tertera pada masing-masing surat itu (1 Tim. 1:1; 2 Tim. 1:1; Tit.1:1).
Surat 1 Timotius bertujuan untuk menasehati Timotius sendiri mengenai kehidupan pribadi dan pelayanannya, mendorong Timotius untuk mempertahankan kemurnian Injil dan standarnya yang kudus dari pencemaran oleh guru palsu dan memberikan pengarahan kepada Timotius mengenai berbagai urusan dan persoalan gereja di Efesus.
Menurut Merrill C. Tenney dalam buku Survei Perjanjian Baru bahwa Paulus dibebaskan dalam tahun 60 atau 61 setelah ia naik banding kepada kaisar, pada waktu itulah ia menghidupkan lagi kegiatan pelayanannya. Alasan Paulus menulis surat ini adalah Paulus menugaskan Timotius sebagai penerus pelayanannya. Surat ini merupakan nasehat-nasehat Paulus kepada anaknya Timotius dalam menggembalakan warga gerejanya.
Di bawah ini diuraikan hal-hal apa saja yang terkandung dalam 1 Timotius 3:1-7 tentang pembina warga gereja yang berkualitas antara lain;
1.1. Kedudukan dan Peran Pembina warga gereja
Dalam 1 Timotius 3:1 dikatakan bahwa "Orang yang menghendaki jabatan penilik warga gereja menginginkan pekerjaan yang indah." Dalam bahasa Yunani penilik warga gereja adalah episkopos. Secara harafiah berarti mengawasi. Wikipedia menjelaskan arti Epikopos:
Greek word “episkopo” was a common word in the gree culture for any official who acted as a superintendent, manager, controller, curator, guardian or ruler. It occurs only five times in the new testamen, once referring to Christ ( 1 Peter 2:25) and the other four times to church leaders. The term ephsizes the function of an elder as exercising authority and supervision “ by divine placement, initiative and design (kata Yunani “ episkopos” adalah sebuah kata yang biasa dipakai dalam budaya Yunani untuk menjelaskan beberapa jabatan yang bertindak atau berfungsi sebagai pengawas, manajer, pengontrol, kurator, penjaga. Kata ini hanya ditemui lima kali dalam Perjanjian Baru, satu kali ditujukan kepada Kristus (1 Petrus 2:25) dan empat kali ditujukan kepada pemimpin gereja.Istilah ini memberi penekanan pada fungsi pemimpin sebagai latihan otoritas dan pengawasan oleh penetapan Ilahi, inisiatif dan rancangan)”.
Dalam konteks itu penilik warga gereja adalah salah satu pembina warga gereja. Ia memiliki banyak peran, seperti; sebagai manajer, pengontrol, penjaga, pemelihara dan pengamat dinamika iman warga gerejanya. Penilik warga gereja berhak membina warga gerejanya apabila kehidupan warga gerejanya mulai menyimpang dari jalan kebenaran, ia yang menuntun dan yang mengontrol kehidupan warga warga gerejanya dengan baik. Hal itu berimplikasi pada kualifikasi yang harus dipenuhi menjadi seorang penilik atau pembina warga warga gereja sangat berat.
Rasul Paulus menekankan bahwa orang yang menghendaki jabatan penilik warga gereja sebagai pekerjaan yang indah karena pada zaman itu warga gereja cenderung berpikir materialistis dan hal ini juga berpengaruh kepada para guru-guru warga gereja dan para pemimpin warga gereja pada saat itu. Kedudukan menjadi penilik warga gereja dianggap rendah dan tidak menguntungkan bagi mereka bahkan tidak menarik dan tidak bernilai. Paulus melawan pendapat itu dan menandaskan, oleh sebab itu ia mengatakan bahwa jabatan penilik warga gereja merupakan pekerjaan yang baik dan mulia di hadapan Allah.
Menurut Samuel Benyamin Hakh (Perjanjian Baru), warga gereja yang disapa dalam surat-surat pastoral telah berkembang menjadi suatu warga gereja yang memiliki struktur organisasi, seperti penilik warga gereja, penatua, dan diaken, serta memiliki peraturan-peraturan pemilihan para pemimpin gereja itu (1 Tim. 3:1-3; Tit. 1:5-9). Tampaknya, warga gereja ini juga memiliki penataan di bidang keuangan untuk mendukung pelayanan warga gereja, termasuk membayar para penilik warga gereja.
1.2. Kriteria Pembina Warga Gereja
Osonander, seorang non Kristen, sebagaimana dikutip William Barclay, memberikan gambaran tentang pemimpin ideal, “Dengan kebijaksanaannya, ia harus dapat mengendalikan diri, sadar, hemat, tekun bekerja, cerdas, tidak mencintai uang, tidak muda dan tidak pula tua. Jika memungkinkan, ia adalah seorang ayah dari satu keluarga, cakap berbicara, dan memiliki nama baik. Jika diperhatikan nampak jelas kemiripannya dengan apa yang dikemukakan dalam Alkitab. Jika dunia ini saja menetapkan kualitas yang tinggi, berlebihankah jika gereja menetapkan standar bagi para pembina warga gereja masa kini?
Keindahan dan kemuliaan status, peran, tugas dan tanggung jawab seorang episkopos membawa implikasi bahwa yang dapat menduduki posisi tersebut adalah;
1.2.1. Seorang yang tak bercacat (1. Tim. 3:2).
Artinya, tidak memiliki kekurangan terutama dalam bidang etis yang menjadikan dia mudah dikritik. Dalam hal ini warga gereja mengharapkan seorang pemimpin yang bisa menjadi teladan yang baik bagi mereka yang bisa mereka tiru dalam kehidupan mereka sehari-hari.Tak bercacat berhubungan dengan perilaku yang sudah terbukti benar yang tak bercacat dalam kehidupan pernikahan, rumah tanggga, kehidupan sosial, dan usaha.
1.2.2. Suami dari satu isteri (1. Tim. 3:2)
Roy B. Zuck mengemukakan bahwa frasa itu menyuruh seorang suami untuk hanya Fokus pada istrinya dan setia kepadanya. Seorang Pembina warga gereja dilarang melakukan poligami, pentingnya pernikahan, larangan pernikahan kembali, seorang yang sudah bercerai tidak memenuhi syarat menjadi memimpin dalam gereja melainkan seorang suami yang setia.
1.2.3. Dapat menahan diri (1. Tim. 3:2)
Ia juga harus dapat menahan diri, “bukan peminum” (serta semua pengertian yang tercakup dalam pernyataan itu). Peminum adalah seorang yang tidak dapat menanggalkan kebiasaan minum anggur, dengan kemungkinan yang bersangkutan akan mabuk dan berlaku tidak senonoh. Seorang yang mabuk ternoda di mata masyarakat umum, apalagi di lingkungan gereja Kristen.
1.2.4. Bijaksana (1. Tim. 3:2)
Bijaksana adalah selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuan lainnya),arif, tajam pikiran, pandai dan hati-hati apabila menghadapi kesulitan. Seorang Pembina warga warga gereja harus memiliki sikap yang bijaksana dalam mengambil keputusan dan bijaksana dalam segala hal karena dia adalah seorang teladan bagi semua orang yang ia pimpin. Bijaksana merupakan sikap yang telah diperbaharui Roh kudus.
1.2.5. Sopan (1. Tim. 3:2)
Menurut KBBI ( 2013) sopan adalah hormat dan takzim, beradab ( tingkah laku, tutur kata, pakaian) baik budi bahasanya, baik kelakuannya(tidak lacur, tidak cabul). Dalam bahasa Yunani sopan disebut kosmian, yang berarti tertib dan sesuai dengan apa yang Paulus tulis di bagiannya tentang bagaimana gereja harus dikelola.
1.2.6. Suka memberi tumpangan (1. Tim. 3:2)
Suka memberi tumpangan merupakan kebajikan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan Kristen zaman itu. Sikap ini merupakan bentuk kasih yang nyata dari kasih di tengah-tengah situasi masyarakat. Seorang penilik warga gereja diharuskan menjadi teladan yang membuktikan kasih kepada orang lain baik itu warga gereja yang berkeadaan maupun warga gereja yang biasa saja.
1.2.7. Cakap mengajar orang (1. Tim. 3:2)
Menurut Roy B.Zuck bahwa, tanggung jawab mengajar dari seorang penatua/pembina warga gereja mengharuskan agar dia berpegang pada perkataan yang benar yang sesuai dengan ajaran yang sehat. Untuk menekankan kemampuan yang penting untuk menangani Firman Allah, yang menjadi penuntun untuk semua khotbah, pengajaran dan nasehat.
1.2.8. Bukan peminum
R. Budiman (surat-surat Pastoral 1 dan 2 Timotius dan Titus) mengatakan bahwa pemabuk merupakan dosa yang merajelela di Asia kecil dan Yunani pada saat itu, oleh karena itu rasul Paulus mengharapkan supaya pemimpin warga gereja atau pembina warga warga gereja bisa menjadi teladan kehidupan yang baik bagi warga gereja dan orang lain, oleh karena itu seorang pembina gereja atau penilik warga gereja adalah seorang yang bukan peminum karena dapat menjadi batu sandungan di dalam warga gereja.
. Salah satu penyebab seseorang mabuk adalah alkohol. Alkohol yang dibuat menjadi minuman keras mengandung gula, lipid dan asam amino yang sudah mengalami proses fermentasi. Sehingga kalau diminum terus menerus dan melebihi kebutuhan maka berakibat pada semua sel tubuh. Karena itu minuman keras langsung berdampak pada tubuh seseorang yakni ia merangsang perilaku dan depresi. Alkitab dengan tegas memeringatkan para pemimpin tentang bahaya Alkohol (bnd. Ams. 31: 4-5). Semua perilaku kecanduan yang mungkin menjauhkan seseorang dari penggilan kepemimpinan harus dihindari.
1.2.9. Bukan pemarah melainkan peramah (1 Tim. 3:3)
Seorang pembina warga gereja tidak boleh pemarah. Alkitab menyebut kemarahan sebagai dosa ketika ia dengan cepat bangkit, sesuatu yang meragukan, melahirkan kepahitan berpusat pada manusia atau ingin membalas dendam (Bdk. Yakobus 1:20, Efesus 4:26-27; Kolose 3:8). Dalam pelayanan, orang bisa menguji kesabaran seorang penatua. Menurut R. Budiman seorang pembina warga gereja diharapkan memiliki komunikasi yang baik dengan warga gereja.
1.2.10 Pendamai (1 Tim. 3:3)
Seorang pemimpin umat Allah tidak boleh suka berkelahi, atau cepat terlibat dalam percecokan. perdebatan yang terus-menerus menghalangi kedamaian yang mencerminkan hikmat yang saleh.
1.2.11. Bukan hamba uang (1 Tim. 3:3)
Keserakahan atau diperhamba uang merupakan faktor yang tidak memungkinkan seseorang menjadi pemimpin rohani. Dalam pelaksanaan pelayanan rohaninya, seorang pemimpin tidak boleh dipengaruhi oleh keinginan untuk mencari untung. Ia harus menerima tugas dengan sukarela, baik dibayar dengan gaji rendah maupun dengan gaji tinggi.
1.2.12. Mampu mengatur, mendidik anggota keluarganya (1 Tim. 3:4-5).
Menurut Roy B.Zuck, seorang pemimpin dalam gereja adalah seorang kepala keluarga yang baik. Kepemimpinan dalam keluarga khususnya yang berkaitan dengan anak-anak, membantu menunjukkan apakah seorang pemimpin sanggup memimpin anak-anak Allah dalam keluarganya .
1.2.13. Bukan orang yang baru saja menjadi Kristen (1 Tim. 3:6-7)
Kedewasaan rohani sangat diperlukan untuk kepemimpinan yang baik. seorang Kristen yang masih muda atau seorang petobat baru hendaknya tidak diberi kedudukan yang menuntut tanggung jawabnya. Alasan yang dikemukakan Paulus, berkaitan dengan persyaratan itu, memang benar dan kuat, yaitu “agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman iblis”. Seorang petobat baru masih belum dewasa kerohaniannya. Padahal, kestabilan sangat penting bagi pemimpin yang bijaksana.
1.2.14. Mempunyai nama baik di tengah masyarakat (1 Tim. 3:6-7)
Ia juga harus memiliki nama baik di antara orang-orang yang ada di luar gereja. Orang-orang yang berhubungan dengan orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kegiatan di luar gereja biasanya berkesempatan mengamati keaslian kekristenan yang bersangkutan.
Pembina Warga Gereja Yang Berkualitas
No Kualifikasi Mental Kualifikasi Moral Kualifikasi Sosial Kualifikasi Kepribadian Kualifikasi Spiritual
1 Bijaksana Suami dari satu isteri Tak bercacat cela Tidak pemarah Jangan petobat baru
2 Sopan Dapat menahan diri Memiliki nama baik Suka memberi tumpangan
3 Cakap mengajar Seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati anak-anaknya Pendamai Tidak serakah / hamba uang
2. PEMBINA WARGA GEREJA yang BERKUALITAS DARI PERSPEKTIF AHLI PENDIDIKAN KRISTEN
2.1. B.S. Sidjabat
B.S. Sidjabat menegaskan bahwa gereja adalah agen pendidikan Kristen. Salah satu bentuk pelayanan gereja adalah pendidikan. Atau bisa juga dinyatakan bahwa keseluruhan dasar atau fondasi dari pelayanan gereja adalah terletak pada pembinaan atau pendidikan warga warga gereja, guna mendorong mereka bertumbuh menuju kedewasaan dalam Yesus Kristus. Gereja hadir untuk mempermuliakan Allah. Agar warga gereja tahu bagaimana caranya supaya dapat mempermuliakan Allah dalam hidupnya, tentulah mereka membutuhkan pendidikan. Semua warga dari berbagai golongan sosial dan usia, dari anak, remaja, pemuda, orang dewasa dan orang tua, yang membujang hingga yang berkeluarga, semuanya membutuhkan pendidikan . Artinya, gereja merupakan sentralitas pembinaan atau pendidikan bagi warga warga gereja, agar memiliki pandangan yang benar terhadap firman Tuhan, yang pada gilirannya menjadikan karakter mereka menjadi dewasa, serta memiliki mental dan akhlak yang mulia di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa gereja adalah tempat beribadah untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia yang telah memanggil (kamu) keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.
Guru (pelatih, pembina) merupakan unsur penting dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Hal itu sangat beralasan karena seperti dikemukakan oleh Prof. Brian Hill (1982), gurulah yang membimbing peserta didiknya untuk belajar mengenal, memahami, dan menghadapi dunia tempat ia berada.
Apabila dicermati dengan seksama tugas guru dan kaitannya dengan kepentingan peserta didik dalam pelaksanaan PWG, maka tampak dengan jelas bahwa setiap pembina terpanggil untuk memainkan beberapa peranan penting dalam penunaian tugasnya, antara lain:
1. Ia diharapkan tampil sebagai seorang ahli, yang relatif tahu banyak tentang apa dan bagaimana dari bahan yang diajarkannya. Itulah sebabnya guru harus selalu meningkatkan kualitas pengetahuannya. Tidak saja ia dapat menjelaskan banyak tentang bahan yang diajarkan, tetapi juga dapat membantu peserta didiknya mengenal strategi praktis bagi penguasaan bahan ajarannya. Dengan kata lain, tugas guru adalah selalu membantu peserta didiknya (peserta PWG) untuk memahami bagaimana cara mendalami dan menguasai pelajaran yang akan atau sedang diikutinya. Meskipun demikian, guru harus sadar bahwa tiap peserta didik tetap memiliki kesadaran tentang cara yang lebih cocok bagi dirinya sendiri untuk lebih memahami pelajaran yang diikuti. Artinya, setiap orang memiliki model atau gaya belajar tersendiri untuk memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu guru perlu berhati-hati agar jangan sampai memadamkan “kesadaran strategis cara belajar secara pribadi” itu. Ia harus mendorong peserta didik mengembangkannya, memperbaharuinya, atau mempertajamnya, dengan memberikan strategi alternatif, yakni keterampilan belajar yang dimilikinya selama ini. Sebagai seorang ahli, tugas guru juga termasuk mengajak peserta didik agar memperoleh pengetahuan, mengembangkan keterampilan belajar, dan mengenal “kesadaran akan cara belajarnya yang khas”.
2. Guru sebagai motivator. Tugas ini sangat mendasar mengingat peristiwa belajar pada dasarnya berlangsung dalam diri peserta didik. Itu berarti bahwa peserta didik merupakan pelaku proses belajar bagi dirinya sendiri. Guru tidak dapat belajar bagi peserta didiknya. Yang dapat dikerjakan guru adalah memberikan rangsangan, membangkitkan semangat, dan perasaan mampu dalam diri peserta didik, yang selanjutnya diharapkan sanggup menggerakkan minatnya dalam melakukan perbuatan belajar. Dorongan belajar timbul dan semakin besar dalam diri peserta didik atas dasar beberapa kondisi. Pertama, apabila ia mendapat penerimaan dan perlakuan yang baik, baik dari guru maupun dari sesama rekan peserta didik. Kedua, apabila ia melihat gurunya sebagai manusia biasa yang bertumbuh ke arah kedewasaan. Ketiga, apabila peserta didik tahu manfaat dari hasil belajarnya (sesuai dengan kebutuhan), serta memahami bagaimana belajar secara efektif. Keempat, apabila ada suasana emosi dan spiritual yang menyenangkan. Kelima, apabila guru menunjukkan antusiasme terhadap pengajaran yang disampaikannya, serta mendemonstrasikan itikad baik untuk membina relasi yang membangun dengan peserta didiknya.
3. Guru sebagai fasilitator. Dengan peran ini, guru terpanggil untuk memahami kebutuhan atau keperluan peserta didik dalam proses belajar. Sebagai fasilitator, guru mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Ia menyediakan alat-alat bantu dengar (visual aid). Ia menyediakan literatur yang relevan. Ia juga berusaha untuk “menciptakan” kondisi emosional dan sosial yang bermanfaat bagi peristiwa belajar. Juga sebagai fasilitator, guru menyediakan waktunya bagi konsultasi-konsultasi pribadi dengan peserta didik, baik di dalam maupun di luar ruangan kelas. Dengan begitu tugas guru adalah membantu peserta didik merencanakan kegiatan belajarnya.
4. Sebagai pemimpin. Guru sebagai pemimpin, mengelola terjadinya peristiwa belajar. Ia menempatkan dirinya sebagai otoritas, namun tidak berlaku secara otoritatif. Ia mencari upaya agar menjadi bagian dari peserta didik (berada di tengah) sehingga mereka sempat melihat dari dekat seluk beluk kehidupannya. Ia memberi pengawasan (berdiri di belakang) bagi kemajuan belajar yang dicapai peserta didiknya. Dalam tugasnya sebagai pemimpin, seorang guru harus pandai-pandai menempatkan dirinya pada dua faktor, yakni pengutamaan relasi dan pencapaian tujuan. Sebab sering ada guru yang lebih mengutamakan relasi yang baik dengan peserta didik dari pada tercapainya tujuan pengajaran. Hal demikian membuat guru enggan melakukan disiplin secara tegas. Dan sebaliknya ada pula guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan daripada pembinaan relasi. Guru demikian cenderung sangat tegas dan terkesan kaku. Di samping itu ada pula guru yang sangat masa bodoh, dalam arti kurang melakukan tugasnya dengan sepenuh hati baik dalam segi pembinaan relasi maupun dalam upaya pencapaian tujuan.
5. Guru sebagai komentator dan komunikator. Dalam kaitan ini tugas guru adalah memberi penilaian terhadap kemajuan peserta didik. Di samping itu, guru juga menyampaikan informasi yang berguna. Sehubungan dengan peranan ini, guru harus selalu menjaga dirinya untuk tetap dapat menyampaikan kritikan dan informasi secara tepat dan jujur. Ia harus mengembangkan kemampuannya dalam mengemukakan pandangan yang bersifat membangun semangat. Jika tidak, peserta didik dapat menyimpan akar pahit ataupun kekesalan di dalam dirinya. Sudah tentu hal demikian akan menghambat kemajuan belajar. Guru sebagai komentator harus mengembangkan diri agar mampu melihat secara objektif kekurangan dan kelebihan peserta didiknya. Ia juga harus terus menerus belajar membedakan antara kekurangan pribadi dengan kekurangan dalam karya dari peserta didiknya. Guru harus membedakan apakah yang sedang dikritiknya itu menyangkut masalah pribadi atau masalah karya, berkaitan dengan pendapat atau pekerjaan. Dengan kata lain, lewat kemampuan seorang gurulah peserta didik dilatih untuk tahu membedakan persoalan-persoalan yang menyangkut pribadi dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan tingkah laku. Sebagai komunikator, seorang guru amat banyak memainkan peran sebagai perantara (mediator). Ia diharapkan menjadi mediator di antara peserta didik dengan bahan pengajaran, dan di antara sesama peserta didik. Tugas penting yang berkaitan dengan perannya sebagai mediator ini ialah mengupayakan pelayanan pendamaian (bnd. Mat. 5:9; 2 Kor. 5:18-19). Karena itu melalui keseluruhan kegiatan belajar mengajar, guru harus tetap berusaha membimbing peserta didik agar mengalami pendamaian dengan Allah, dengan dirinya serta sesamanya. Perkataan, sikap dan perbuatan guru itu sendiri dituntut untuk senantiasa menunjang tujuan ini.
6. Guru sebagai agen sosialisasi. Dengan peran ini, guru berupaya membantu peserta didik mengalami interaksi edukatif, saling mengenal dan saling mengisi, melalui diskusi dan kerja kelompok. Peranan ini sangat perlu mengingat peserta didik, selain sebagai mahluk individu tetapi juga sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu, cara belajar manusia selalu menempuh dua pendekatan, yakni pendekatan pribadi (prinsip individualisasi) dan pendekatan sosial (kebersamaan-prinsip sosialisasi). Kita juga harus menyadari bahwa munculnya sosialisasi dalam kelompok memang tidak terjadi dengan mudah. Sedikitnya ada tiga fase yang dilalui oleh semua peserta. Pertama, fase di mana peserta berorientasi kepada kepatuhan dan tata tertib jalannya diskusi. Para peserta masih diselimuti oleh perasaan segan untuk membuka diri dan mengajukan pendapatnya karena masih terfokus kepada keinginan untuk melihat kemajuan orang lain. Kedua, fase di mana para peserta mulai memberikan sumbangan pemikiran, pendapat dan usulan. Ketiga, adalah tahap di mana para peserta merasa dekat dan saling memerlukan sehingga timbul kerjasama yang baik.
7. Guru sebagai pengajar. Dalam tugasnya sebagai pengajar, maka perlu dibangun beberapa pemahaman atau pengertian tentang mengajar. Pertama, mengajar sebagai upaya pengajar untuk mentransfer pengetahuan atau pandangan, keyakinan, dogma, doktrin atau teologia yang dimiliki kepada peserta didiknya. Dengan pengertian ini ada kecenderungan bahwa tugas utama peserta didik (warga warga gereja) ialah menguasai bahan pengajaran, dapat mengungkap ulang, serta memahaminya secara kognitif. Kedua, mengajar sebagai usaha dari pengajar untuk menolong peserta didik sedemikian rupa sehingga dapat menemukan konsep diri secara benar. Dengan konsep diri yang benar peserta didik (warga warga gereja) diharapkan memiliki kesadaran diri atas kelemahan, kekurangan dan kekuatannya. Peserta didik (warga warga gereja) diinginkan menjadi pribadi-pribadi mandiri yang dapat mengembangkan potensi belajarnya sendiri guna mencapai tujuan yang optimal. Ketiga, mengajar sebagai upaya pengajar untuk mengelola atau mengatur situasi sedemikian rupa sehingga peristiwa belajar dapat terjadi. Peranan pengajar dalam hal ini adalah sebagai pembimbing. Ia juga sebagai pemberi dorongan dan penyaji hal-hal yang menunjang bagi kepentingan dan dalam kegiatan belajar, baik berupa sarana maupun prasarana.
8. Guru sebagai pelajar. Guru yang tidak sadar bahwa pengetahuan berkembang, dan bahwa peserta didik yang dihadapinya berubah-ubah akan mengalami ketertinggalan. Oleh sebab itu, seorang guru perlu tampil dengan kesegaran baru, segar dalam pengetahuan, kerohanian, dan bahkan secara fisik. Karena itulah guru terpanggil untuk terus mengembangkan dirinya, wawasan dan kreatifitasnya dengan jalan terus menerus melakukan kegiatan atau perbuatan belajar.
2.2. Yakob Tomatala
Menurut Yakob Tomatala ada beberapa karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Kristen yaitu:
1. Memiliki kerendahan hati, di sinilah seorang pemimpin perlu berhikmat dalam mempengaruhi warga gereja untuk tidak membedakan antara warga gereja miskin dan warga gereja bodoh maupun warga gereja yang rendah kedudukannya.
2. Memiliki kelemah lembutan, di sinilah seorang pemimpin Kristen perlu meneladan sikap kelemahlembutan Tuhan Yesus dalam melayani murid-murid, sekalipun dia dikhianati dan disangkali oleh murid-Nya sendiri.
3. Memiliki keterampilan dalam menahan emosi, di sinilah seorang pemimpin harus mengendalikan diri dalam menghadapi setiap situasi yang ada.
4. Seorang yang sopan (1 Korintus14), seorang pemimpin adalah seorang yang mengerti bagaimana cara bergaul dengan baik, karena dia merupakan sorotan dari warga gerejanya
5. Seorang yang suka memberi tumpangan, yaitu seorang yang suka membantu dan suka akan hal-hal yang baik
6. Seorang yang cakap mengajar artinya seorang yang mempunyai pengetahuan mengajar,menasehati, memberi kesaksian tentang Injil yang lebih dari warga gerejanya karena dia adalah salah satu sumber dari pengajaran yang akan diterima oleh warga gerejanya
7. Seorang yang bukan pemarah melainkan peramah artinya seorang yang memiliki kepribadian yang baik di tengah warga gerejanya seorang yang suka akan kedaiaman.
2.3.3. Alon M. Nainggolan
Menjadi seorang pembina warga gereja harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1. Lahir baru. Artinya, seorang pembina haruslah seorang yang telah menerima Yesus Kristus secara pribadi. Hidup dalam keintiman dengan Kristus melalui seluruh hidupnya. Bergaul akrab dengan Allah melalui doa dan merenungkan firman-Nya.
2. Mencintai tugas PWG. Artinya, seorang pembina dalam PWG harus melihat bidang tugas pelayanannya sebagai sebuah pengabdian terbaiknya bagi Kristus yang telah mengasihinya. Hal itu juga berarti bahwa seorang tenaga PWG harus mencintai orang-orang binaannya yang dipercayakan Tuhan ke dalam tanggung jawabnya untuk dibimbing hidup dalam kehendak Allah.
3. Sesuai dengan terang firman-Nya. Memiliki pengetahuan yang luas tentang Alkitab. Artinya, seorang tenaga PWG haruslah orang yang memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai Alkitab dan teologi. Hal ini penting karena sumber utama PWG adalah Alkitab (Firman Allah) yang oleh iman Kristen diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Karena itu disarankan agar setiap pembina memiliki pendidikan dasar Alkitab yang memadai, baik secara formal maupun non-formal.
4. Memiliki wawasan yang luas. Hal ini turut menentukan kualitas diri pembina PWG. Karena dalam realitasnya bahwa warga gereja semakin hari kualitas pendidikannya semakin maju dan meningkat dalam berbagai disiplin ilmu.
5. Memiliki kompetensi menyajikan materi PWG. Harus diakui bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan yang memadai tetapi ia tidak cukup terampil dalam memindahkan pengetahuannya kepada orang lain. Keterampilan mengajar (menyajikan) bahan ajar membutuhkan latihan terus menerus dan itu berarti dapat dipelajari.
6. Memiliki sikap positif. Artinya, seorang pembina PWG tidak hanya memindahkan pengetahuan secara kognitif, tetapi juga membagi kehidupannya kepada orang lain dan disinilah pentingnya sebuah sikap positif dari seorang pembina dalam PWG.
7. Memahami orang yang dibina. Hal ini penting dan sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam segala usaha PWG. Apalagi di dalam gereja terdiri dari berbagai orang yang berbeda latar belakang budaya, sosial, ekonomi, pendidikan, dll. Dapat menolong orang lain merealisasikan cita-citanya. Keberhasilan pembina PWG terlihat pula dalam kemampuannya membimbing seseorang merealisasikan cita-citanya, khususnya bagi kemuliaan nama Tuhan. Karena itu seorang pembina PWG merangkap juga sebagai motivator, komunikator, fasilitator, mentor bagi orang-orang yang dibinanya untuk mencapai suatu cita-citanya. Memiliki sumber-sumber bahan ajar/pembinaan yang memadai. Yang dimaksudkan disini, buku-buku sumber selain Alkitab.
PENUTUP
Pembinaan warga gereja merupakan suatu usaha sadar, sungguh-sungguh, terencana dan berkesinambungan yang dilaksanakan oleh para pemimpin gereja untuk memperlengkapi warga gereja dalam pertumbuhan iman yang berpusat pada Kristus, berdasarkan pengajaran Alkitab, supaya warga gereja semakin dewasa dalam iman kepada Tuhan.
Menjadi seorang pembina warga gereja adalah indah dan mulia, maka ia haruslah memiliki kualitas kepribadian, emosi, sosial, profesionalisme, moral, dan spiritual yang bisa diteladani oleh orang lain. Juga memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan warga gereja biasa.
Karena kualitas pembina warga gereja mempengaruhi kualitas iman warga jemaat, maka perlu bagi gereja agar lebih selektif dalam menetapkan pembina warga gereja dengan mengacu pada kualifikasi yang ideal, karena pembina adalah unsur/komponen yang sangat penting dalam pendidikan/pembinaan warga gereja. Gereja juga perlu membenahi para pembina warga gereja dalam pengajaran Alkitab yang lebih baik, karena memiliki pengetahuan Alkitab yang baik merupakan salah satu tuntutan yang harus dimiliki oleh para pembina warga gereja.
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Yosafat. Integritas Pemimpin Pastoral.Yogyakarta : Yayasan
Andi,2010.
Gangel, O. Kenneth. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Malang:
Gandum Mas.2001.
Harrison, F. Everett. (Ed), Baker’s Dictionary of Theology. Michigan: Baker
Book House, 1988.
Sanders, O. Oswald, Kepemimpinan Rohani. Bandung: Kalam Hidup, 2017.
Selan, F. Ruth. Pedoman: Pembinaan Warga Gereja. Bandung: Kalam
Hidup, 2000.
Sidjabat, B.S, Mengajar Secara Profesional. Bandung: Kalam Hidup.1993.
________Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Andi, 1993.
Tanya, Eli, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen: Mencermati
Peranan Pedagogis Gereja. Cipanas: STT Cipanas, 1999.
Tomatala, Yakob, Penatalayanan Gereja Yang Efektif Di Dunia Modern
Malang: Gandum Mas, 1993.
Tu’u, Tulus, Pemimpin Yang Berhasil 2. Bandung : Bina media Informasi.
2010.
Hia, Elisabeth, Kualifikasi Pembina Warga Gereja dan Signifikansinya bagi Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Cianjur: Shema, 2017.
Kualitas pemimpin akan mempengaruhi kualitas yang dipimpinnya. Itu sebabnya, memperhatikan kualifikasi pemimpin Kristen dan meningkatkannya secara berkesinambungan adalah sebuah keharusan.
BalasHapusPemimpin Kristen harus lebih unggul dalam kompetensi kepribadian, moral, sosial, emosi dan spritual dari orang-orang dipimpinnya.
Soli Deo Gloria.