PEMUDA DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN DARI PERSPEKTIF KRISTEN
PEMUDA DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN DARI PERSPEKTIF KRISTEN
Alon Mandimpu Nainggolan, M.Th.
nainggolanalon@yahoo.co.id
Abstract
It is a historical fact that the ecological crisis is a reality of life, and at the same time the biggest problem that humans face in this age. The decline in environmental quality has now reached a level that can threaten the survival of humans on earth. The environmental crisis occurs because of the misconceptions about the environment (the concept of human-natural relations), the lack of examples in preserving the environment, the preach that exist today have not touched many real problems about the environment around them, and also human egoism in treating others creation. Real efforts both internationally, regionally and locally to overcome the decline of the environment become a necessity and needs in the present and future. One of the most strategic steps is to equip, empower and mobilize youth through education so that they are actively involved in environmental conservation.
Through environmental education for youth that hoped the birth of pioneers in providing information about efforts to improve the quality of the environment (to inform), be a role model in maintaining the environment for the community (to inspire) and become an agent to increase community capacity and potential in empowering the environment positively (to empower) . That is why, should not ignore environmental education for youth. The basic thoughts of researchers are that all Christian traditions have the potential to discover and express concern for the environment.
Keywords: Youth, Environmental Education, and Christianity.
I. PENDAHULUAN
Krisis ekologi bukanlah satu hal yang asing bagi masyarakat, baik konteks nasional, regional maupun internasional (bdk. Djauhari Noor, 2006:1). Tahun 1982, Jonathan Schell menulis buku dengan judul yang cukup kontroversial, The faith of the Earth. Di dalamnya dia menggambarkan ‘kematian kedua’ yang sedang mengancam seluruh kehidupan di planet bumi ini. Ia menggambarkan kematian pertama sebagai kematian manusia, dan kematian kedua akan segera menyusul, yaitu kematian seluruh sistem kehidupan (1982:99).
Senada dengan hal di atas, H. R. Mulyanto (2007:10-22) menjelaskan ada tiga belas persoalan-persoalan yang mengancam lingkungan saat ini yaitu: 1) Perkembangan penduduk. 2) Pemanasan bumi. 3) Penipisan lapisan ozon. 4) Perusakan habitat dan melenyapnya spesies. 5) Pencemaran udara. 6) Polusi air. 7) Pencemaran dan penyusutan air bawah tanah. 8) Pencemaran tanah. 9) Risiko-risiko kimia. 10) Usaha perlindungan terhadap lingkungan. 11) Usaha-usaha internasional melestarikan lingkungan. 12) Perjanjian-perjanjian internasional. 13) Prospek masa depan. Celia Deane-Drummond (2006:4-14), mengetengahkan beberapa contoh tekanan lingkungan, antara lain: 1) Punahnya spesies. 2) Kemerosotan tanah. 3) Penipisan sumber-sumber energi. 4) Perubahan cuaca. Lebih lanjut dikemukakan, ada lebih dari 50.000 jenis tumbuhan mengalami kepunahan, hampir 4.000 spesies vertebrata endemic berpotensi hilang tak berbekas pada akhir abad ini, dan sekitar 60% ekosistem dunia dari hutan dan lahan sampai karang laut dan sabana akan mengalami kerusakan serius (Majalah Serasi Edisi 01, 2010:5). Satu contoh kerusakan lingkungan hidup adalah kondisi lapisan ozon yang telah rusak (suatu laporan yang ditulis di Harian Kompas, Sabtu, 5 Oktober 2002, 10 dalam rubrik “Khasanah”).
Kenyataan krisis ekologi menyerang dari banyak arah. Skala dan kompleksitas permasalahan-permasalahan dan kerumitan pemecahan-pemecahan jangka panjang yang diketengahkan telah menjadi semakin sulit diabaikan. Tak mungkinlah tidak terus mencari cara-cara untuk menemukan jalan keluar dari labirin kemerosotan lingkungan yang terus berjalan. Banyak perspektif, termasuk yang muncul dari agama dan filsafat, diperlukan dalam tugas penting memikirkan kembali hubungan manusia-bumi (Mary Evelyn Tucker & John A. Grim., 2003: 7). Tentu saja agama-agama dunia berperan, khususnya Kristen dalam merumuskan pandangan-pandangan mengenai lingkungan dan dalam menciptakan perspektif-perspektif mengenai peran manusia di dalam lingkungan. Maka, jelas bahwa tinjauan mengenai pandangan Kristen dalam hal pemuda dan pendidikan lingkungan sangat penting artinya, untuk menyikapi, menganalisis akar-akar krisis lingkungan, sekaligus sebagai upaya pengusulan cara pemecahannya.
Sebagaimana yang dikemukakan Paul F. Knitter (2015:171) bahwa kita melihat bagi banyak orang, menjadi religius berarti prihatin terhadap dan bertanggung jawab atas dunia ini, sementara untuk sebagian lagi, mengambil tanggung jawab dan komitmen terhadap dunia ini mengharuskan mereka untuk melihat realitas – atau setidaknya pertanyaan masalah religius. Mengenal yang Sakral berarti peduli terhadap bumi ini; peduli terhadap bumi berarti tersentuh oleh yang Sakral.
Salah satu bentuk pencapaian visi Yayasan WWF-Indonesia yakni, ekosistem dan keanekaragaman hayati Indonesia dilestarikan dan dikelola secara adil dan berkelanjutan, untuk kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang, segala upaya dilakukan untuk mencapai hal tersebut dengan beberapa misi, salah satunya adalah dengan memberi perhatian khusus bagi pendidikan lingkungan, terutama bagi generasi muda. Memperlengkapi pemuda dalam hal lingkungan adalah tindakan dan sikap bijak, potensial dan efektif (https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/). Tesis utama yang sekaligus menjadi dasar yang kami anut dalam menghadapi krisis dan bencana lingkungan hidup global tetap sama dalam ketiga buku yang ditulis: krisis dan bencana lingkungan hidup global disebabkan oleh karena kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan oleh karena kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana Lingkungan hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan perubahan paradigma berpikir (A. Sonny Keraf, 2014:8).
Mengingat data BPS, pada periode 2030-2040 Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) akan lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa (https://www.bappenas.go.id). Idealnya cara pandang terhadap pemuda harus berubah. Pemuda jangan semata-mata diposisikan sebagai objek (penikmat alam), melainkan subjek (pelaku kelestarian alam). Pemuda harus menjadi pemikir dan pelaku untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis bagi setiap orang yang tinggal di dalamnya. Hal ini bisa dicapai jika ada pendidikan lingkungan bagi pemuda sejak dini dan dirancang, dilaksanakan, dan dievalusi secara sadar, terencana, berkesinambungan.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah pengkajian dengan bingkai metode kualitatif deskriptif yang berusaha menggambarkan kompleksitas permasalahan yang sedang diteliti seputar pemuda dan pendidikan lingkungan dari perspektif Kristen. Dalam penelitian ini metode kualitatif deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi krisis ekologis yang dialami masyarakat luas dan bagaimana seharusnya pemuda berperan, setelah diperlengkapi melalui pendidikan lingkungan. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dan melalui studi dokumen oleh peneliti dengan melakukan penelusuran dan penggalian terhadap jurnal, laporan pemerintah, laporan penelitian, dan buku-buku sekuler dan Kristen yang terkait dengan topik yang sedang diteliti. Hal ini bermanfaat, jika selanjutnya ada data yang kurang relevan atau tidak sesuai, peneliti masih bisa menggunakan data utama dan pendukung lain yang ada.
Analisis data dilakukan secara induktif, melalui beberapa tahapan yakni, reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2011:339-343) menyatakan, langkah-langkah analisa data melalui proses data reduction (reduksi data), data display (penyajian data) dan conclusion drawing/verification (kesimpulan). Menurut Suyanto, (2005:173-174) penyajian data penelitian kualitatif dipaparkan dalam bentuk uraian kata-kata atau deskripsi tentang peristiwa atau fenomena sosial tertentu.
Pemuda dan Karakteristiknya
Dalam perspektif UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang kepemudaan, definisi pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Muda, pemuda dalam KBBI (2007:776) berarti belum sampai setengah umur, generasi baru. Jadi, pemuda dapat diartikan sebagai individu yang jika dilihat secara fisik sedang mengalami pertumbuhan, secara psikis sedang mengalami perkembangan kognitif, emosional, serta secara spiritual sedang menempati level mengetahui siapa yang dia percaya dan mengapa dia percaya, sehingga pemuda merupakan aset pembangunan di masa kini maupun masa depan.
Pada umumnya, ada tiga kategori sikap yang biasa dimiliki pemuda terkait lingkungan. Pertama, pemuda yang peduli dengan lingkungan. Kedua, pemuda yang suka berpetualang di alam dan menikmati keindahan lingkungan. Ketiga, pemuda yang sama sekali tak tertarik dengan alam dan isu-isu terkait lingkungan. Kategori pertama merupakan kategori paling ideal. Apalagi, mengingat pemuda adalah para penerus yang mana tindakan mereka menentukan nasib dan keberlangsungan lingkungan.
Beberapa karakteristik pemuda adalah idealis, dinamis, kreatif, dan inovatif. Mereka juga mengidentifikasi diri sebagai pribadi yang mandiri, memperlakukan diri sebagai orang dewasa dan telah mampu menetapkan prinsip bagi diri sendiri. Selain itu, yang menjadi karakteristik pemuda Kristen adalah sebagai berikut: 1) menjauhi nafsu orang muda, mengejar keadilan, setia, memiliki kasih, berdamai dengan sesama, dan berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni (2 Timotius 2:22). Ada juga hidup yang dipagari Firman Tuhan (Mazmur 119:9), dan hidupnya menjadi teladan (1 Timotius 4:12). Jadi, kepemudaan adalah pelbagai hal yang berkenaan dengan bakat, talenta, karunia, hak, cita-cita, potensi, karakter, kapasitas, dan aktualisasi diri. Pemuda merupakan identitas lingkungan yang mampu mempengaruhi alam dengan mengorganisir seluruh pemikiran tentang ekoliterasi kepada orang lain, yang berdampak pada sistem kehidupan organisme lainnya, supaya tidak membawa kerugian lingkungan di sekitarnya.
Konsep Pendidikan Lingkungan
Pada dasarnya pengertian pendidikan menurut UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik (W.J. Poerwadarminta, 2007:291). Dalam Ensklopedi Pendidikan, dapat diartikan semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Sedangkan, lingkungan adalah seluruh faktor luar yang mempengaruhi suatu organisme; faktor-faktor ini dapat berupa organisme hidup (biotic factor) atau variabel-variabel yang tidak hidup (abiotic factor) misalnya suhu, curah hujan, panjangnya siang, angin, serta arus-arus laut (H.R. Mulyanto (2007: 1).
Pendidikan Lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai hubungan antara suatu obyek (entity) dengan sekitarnya (Djauhari Noor, 2006:5). Selanjutnya, UNESCO (Deklarasi Tbilisi, 1977) pendidikan lingkungan hidup adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi, serta komitmen untuk bekerja sama, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru. Jadi, dikemukakan bahwa pendidikan lingkungan bagi pemuda digambarkan seperti sebuah proses yang menolong setiap pemuda untuk dapat berperan sebagaimana mestinya terhadap sesama ciptaan dan lingkungannya.
Pendidikan lingkungan erat kaitannya dengan ekologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:312), ecology (ekologi) adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi lingkungannya. Berasal dari kata Yunani oikos (habitat) dan logos (ilmu). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Robert P. Borrong (2009:18), alam semesta merupakan tempat hidup atau lingkungan hidup (oikoumene) serta sumber kehidupan (oikonomia) seluruh ciptaan baik organisme (makhluk hidup) dan anorganisme (benda-benda tidak hidup). Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834-1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya (R.A. Hutagalung,, 2010:20-27).
Hal senada dikemukakan oleh H.R. Mulyanto (2007: 2) bahwa ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara tetumbuhan, satwa-satwa, dengan lingkungan biologi dan fisik mereka. Lingkungan fisik termasuk cahaya dan panas, radiasi surya, kelembaban, angin, oksigen, karbondioksida, nutrisi-nutrisi dalam tanah, air dan atmosfir. Lingkungan biologi termasuk organisme sejenis maupun berlainan. Dengan adanya pelbagai pendekatan yang dibutuhkan untuk mempelajari organisme dengan lingkungannya, ekologi melibatkan pelbagai bidang ilmu seperti klimatologi, hidrologi, ilmu kelautan, fisika, kimia, geologi, dan ilmu tanah; dalam mempelajari hubungan antara organisme, dan perilaku satwa, taksonomi, fisiologi dan matematika. Ekologi mempelajari kondisi-kondisi kehidupan satwa dan tetumbuhan dan perkembangbiakan mereka, baik jumlah maupun penyebarannya untuk mengevaluasi kesehatan lingkungan.
Sebagaimana gagasan Sonny Keraf (2014) dalam bukunya Filsafat Lingkungan Hidup, secara jelas lingkungan hidup atau ekologi bukan semata-mata berurusan dengan pencemaran. Ia juga bukan semata-mata persoalan kerusakan alam. Lingkungan hidup dalam pengertian lebih luas, lebih mendalam dan lebih filosofis menyangkut dengan kehidupan dan interaksi yang terjalin di dalamnya. Ia menyangkut mata rantai jaringan makanan dan siklus yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan lainnya dan interaksi antara semua kehidupan dengan ekosistemnya, dengan bumi tempat hidup semua kehidupan.
Artinya pendidikan lingkungan, baik melalui model yang formal, semi-formal, maupun informal akan sangat berpengaruh terhadap kualitas Indonesia ke depan, termasuk kualitas lingkungannya. Melalui pendidikan lingkungan bagi pemuda diharapkan menjadi upaya nyata membangun kesamaan persepsi dan kesamaan langkah dalam mengatasi krisis ekologis baik secara nasional, regional maupun global, sehingga lingkungan hidup yang baik dan bernilai, baik itu Daerah Aliran Sungai (DAS), hutan, pesisir, tambang ataupun lautan dapat tercipta. Akhirnya, pendidikan lingkungan adalah proses pembentukan karakter dan perilaku dalam memahami, mengembangkan serta melatih manusia dalam melestarikan lingkungannya.
PEMUDA DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN DARI PERSEPEKTIF KRISTEN
Mengapa pemuda dan pendidikan lingkungan itu tidak bisa dipisahkan? Karena pemuda adalah generasi penerus, tongkat gereja, sekaligus agen perubahan (agent of change). Upaya penguatan kelestarian lingkungan, keadilan gender, penguatan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang, harus dimulai dengan memperlengkapi dan memobilisasi pemuda sebagai agen perubahan dan pembaharuan.
Peran pemuda harus dapat dimaksimalkan dalam melestarikan lingkungan agar bumi ini masih menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk didiami oleh manusia di masa kini, dan di masa mendatang. Di dalamnya, pemuda juga menjadi penerima manfaat, jika terjadi penurunan polusi udara-air-tanah, pengurangan timbunan sampah, pengendalian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pelestarian hutan, konservasi keanekaragaman hayati, mitigasi-ataptasi perubahan iklim, penanggulangan bencana dan lain sebagainya. Jika lingkungan sehat, maka pemuda juga sehat; namun juga lingkungan tidak sehat maka tendensinya pemuda juga tidak sehat. Idealnya, kepedulian terhadap lingkungan sudah ada dalam jiwa tiap-tiap diri generasi muda. Namun, itu bisa tercapai jika ada pendidikan lingkungan yang berkualitas.
UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal-1, menjelaskan bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (H.R. Mulyanto, 2007:1).
Pentingnya Pendidikan Lingkungan bagi Pemuda
Pendidikan lingkungan berperan penting dalam pelestarian dan rekonsiliasi lingkungan di konteks Indonesia, Asia dan dunia, dalam mewujudkan hidup yang berkelanjutan. Pendidikan lingkungan harus diterapkan di masyarakat mulai dari usia dini, khususnya bagi pemuda. Ada beberapa alasan pentingnya pendidikan lingkungan bagi pemuda dari perspektif Kristen, yaitu:
Pertama, Allah memberikan mandat budaya kepada manusia untuk memelihara lingkungan (Kejadian 1:28).
Berdasarkan urutan penciptaan dan evaluasi Tuhan atas karya-Nya sendiri, nampak jelas bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia (Mazmur 8:5-6). Allah menciptakan manusia berbeda dengan ciptaan yang lain. Manusia diciptakan secara istimewa dan ajaib (Mazmur 139:14). Hanya manusialah yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, terlebih lagi hanya manusia pulalah yang ditugaskan oleh Allah untuk memelihara, melestarikan dan mengelola ciptaan yang lain (Kejadian 1:28, 31; 2:15).
Wesley Granberg-Michaelson (1977: 85), mengetengahkan bahwa walaupun manusia memiliki hak istimewa untuk menguasai ciptaan yang lain, tidaklah berarti manusia boleh menggunakan hak tersebut secara semena-mena dan merusak ciptaan yang lain. Manusia mempunyai hak untuk menguasai ciptaan yang lain, semata-mata karena manusia memang diciptakan lebih istimewa dibanding yang lain. Namun, manusia harus tetap bertanggung jawab kepada Allah, Sang Pencipta. Dengan kata lain, tanggung jawab manusia ialah memelihara, mengolah bumi, dan bekerja dengan tangan Allah demi suatu planet yang berkelanjutan; bukan mendominasinya.
Martin Harun dalam jurnal Pelita Zaman (1998, Volume 13: Nomor 2) mengetengahkan bahwa malapetaka lingkungan hidup disebabkan oleh manusia berilmu dan berteknologi yang menempatkan diri manusia sebagai pusat dunia dan sebagai tujuan segalanya; yakni antroposentrisme modern. Perlu dihindarkan bahwa juga Alkitab dibaca dan diartikan dengan mata antroposentris itu. Bukannya mendukung antroposentrisme, Alkitab Ibrani berbicara tentang manusia dan makhluk-makhluk lain, tentang bangsa bersama tanahnya, dalam suatu perspektif teosentris. Hal senada dikemukakan oleh McDonagh, Greening Church, (123) bahwa teologi penciptaan diakhiri dengan kesimpulan menyeluruh tentang tempat sentral Allah sebagai pencipta yang memelihara (Mazmur. 104:27, 65:9, Kejadian 8:22, 9:9-13), tempat manusia sebagai pengurus (Kejadian 2:15) yang serentak sesama makhluk (2:7), tentang karya penciptaan Allah yang baik dan terberkati, dan manusia yang gagal mengambil tempatnya di bawah Allah, sebagai pembantu pemelihara. Kegagalan ini merusak hubungan manusia dengan alam.
Norman L. Geisler (2015:387-390), mengemukakan bahwa ada beberapa penjelasan dasar Kristen tentang lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan, yaitu Pertama, dunia adalah ciptaan Allah (Kej. 1:1). Kedua, dunia ini milik Allah (Mzm. 24:1; Ayb. 41:2; Mzm. 50:10,12). Ketiga, bumi adalah cerminan Allah (Kej. 1:4; 10; 12; 18;21;25; 31; Kej. 1:27). Keempat, bumi ditopang dan dioperasikan Allah (Ibr. 1:3; Kol. 1:7; Mzm. 104:10-14). Kelima, dunia terikat dengan perjanjian dengan Allah (Kej. 9:12-16). Keenam, manusia adalah pemelihara lingkungan (Kej. 1:28; 2:15). Ketujuh, kewajiban untuk berkembang biak (Kej. 1:22, 28). Kedelapan, kewajiban berkuasa (Kej. 1:28). Kesembilan, perintah untuk menjadi pemelihara (Kej. 2:15).
Manusia menjadi wakil Allah untuk memelihara ciptaan-Nya. Ketika kondisi yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna, maka tatkala Allah memberikan mandat budaya kepada manusia pertama; berarti tidak akan ada potensi untuk merusak sesama ciptaan. Namun, satu sikap yang memperlakukan sesama ciptaan sebagaimana Allah bermaksud agar seluruh ciptaan memancarkan kemuliaan-Nya. Manusia dan sesama ciptaan adalah saudara, yang seyogianya saling menjaga dan memelihara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup pertama yang indah dan permai itu adalah pemberian dari yang maha kuasa, yakni Allah, pencipta dan pemilik utama alam raya. Manusia harus mempertanggungjawabkan alam ini, pertama-tama kepada pemberinya, lalu kepada sesamanya yakni generasi penerus, dan juga terhadap alam itu sendiri. Karena, apabila manusia mengabaikan amanat ini, maka manusia dan seluruh ciptaan akan hancur dan punah dengan sendirinya (Ismail Andar, 2015:102). Keutuhan dan kelestarian alam, pemberian Allah sangat tergantung pada manusia, sebagai mandataris terpercaya Allah satu-satunya. Di tanah milik Allah yang indah dan permai itulah manusia wajib membimbing segala makhluk untuk datang berlindung di bawah kuasa dan kasih pemeliharaan Allah yang kekal.
Kedua, Allah mengasihi semua ciptaan.
Bukti nyata bahwa Allah mengasihi ciptaan adalah ketika ada sejumlah prosedur Kristen bagi ekologi (Norman L. Geisler) adalah sebagai berikut; 1) Hukum tentang pelayan yang baik (1 Kor. 4:2; Ayb. 41:2). 2) Hukum tentang perhentian pada hari sabat (Kel. 23:12). 3) Hukum tentang perhentian bagi tanah (Kel. 23:10-11). 4) Hukum tentang tahun Yobel (Mzm. 50:12; Im. 25:23). 5) Hukum tentang menuai (Im. 19:9-10; Kel. 23:11). 6) Hukum tentang sanitasi (Im. 13-14; Im. 13:9-11; Ul. 23:13; Im. 11:45). 7) Hukum tentang peperangan (Ul. 20:19-20). 8) Hukum yang menentang ketamakan akan tanah (Mzm. 50:12; Mzm. 24:1; Ayb. 41:2.
Allah memberikan perintah yang jelas mengenai bagaimana seharusnya orang Israel merawat tanah yang diberikan-Nya kepada mereka (Kel. 23:10-11; Im. 25:1-7). Sebagaimana Allah memerintahkan umat-Nya untuk beristirahat pada setiap hari ketujuh, tanah mereka juga harus memiliki tahun istirahat (Im. 25:5). “Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan mengumpulkan hasilnya, tetapi pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja” (Kel. 23:10-11). Para ilmuwan modern telah mendukung praktik serupa, membiarkan lahan tidak ditanami sama sekali secara berkala agar nutrisi dalam tanah itu terisi kembali dan kesuburannya dipulihkan.
Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Kasih adalah salah satu sifat Allah yang dominan. Ketika Allah menciptakan secara berturut-turut; hari 1: Langit dan Bumi, cahaya - elemen dasar (Kej. 1:1-5); hari 2: Cakrawala, air atas cakrawala (Kej. 1:6-8); hari 3: Darat, tumbuh-tumbuhan (Kej. 1:7-13); hari 4: Surya, bulan, dan bintang-bintang (Kej. 1:14-19); hari 5: Binatang yang di air, burung (Kej. 1:20-23); hari 6: Binatang yang tinggal di darat, dan manusia menurut gambar Allah (Kej. 1:24-31), Allah melingkupi dengan kasih-Nya. Ia menciptakan untuk tujuan yang baik yaitu sebagai pernyataan akan kemuliaan, kekuasaan, kebijaksanaan dan kebaikan-Nya (1Kor. 8:6 Yoh.1:30 Kej. 1:2; Yes. 40:12-13; Ef. 1:11; Why. 4:11; Ay. 22:2-3; Kis. 17:25).
Ketiga, Tuhan Yesus mendemonstrasikan hidup yang peduli lingkungan (Matius 6).
Hubungan antara Yesus dan lingkungan alam bukan tema yang kuat dalam Injil, namun bukan berarti tidak memberi penjelasan secara tersurat maupun tersirat. Ia menekankan kembali bahwa Allah memelihara ciptaan seperti bunga (Matius 6:28-30) dan burung pipit (Matius 10:29). Ia menunjukkan diri-Nya sendiri sebagai Tuhan atas ciptaan dalam menenangkan angin ribut (Markus 4:35-42) dan dengan berjalan di atas air (Markus 6:45-51). Sebagai Tuhan atas ciptaan Yesus mempunyai kekuasaan untuk memberkati dan mengutuki ciptaan (Markus 12:12-14, 20-26; Markus 5:1-20). Gaya hidup mesianistik yang diceritakan dalam Matius 6:24-34 mengundang keyakinan radikal terhadap jaminan yang disediakan Allah bagi kebutuhan sehari-hari. Ada kesejajaran antara jaminan Allah bagi burung-burung di udara dan jaminan untuk kebutuhan manusia (Celia Deane-Drummond, 2006:32).
Dalam Matius 6:24-34, Yesus mengundang para pendengarnya untuk dibebaskan dari kekuatiran dalam rangka mencari Kerajaan Allah. Pencarian Kerajaan Allah ini menjadi bagian memahami diri sendiri dihubungkan dengan dan di dalam solidaritas dengan ciptaan yang lain (Celia Deane-Drummond, 2006:32). Ketika manusia ditebus dan diperdamaikan dengan Allah, maka akan melahirkan cara pandang positif antara manusia dan ciptaan lainnya.
Keempat, pendidikan lingkungan dapat mengubah pandangan dan perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Efesus 4:11-16; Kolose 3:23).
Generasi muda itulah awal yang potensial untuk membangun dan menjaga lingkungan hidup. Sebagai generasi muda yang mencintai dan melestarikan alam sekitar, berarti juga perwujudan nyata akan rasa syukur terhadap anugerah Tuhan Yesus yang sangat bernilai bagi kesejahteraan seluruh makhluk. Menurut Muhjidin, pendidikan lingkungan merupakan pendidikan strategis yang perlu dikembangkan dan diterapkan bagi generasi muda. Sebagai agen perubahan, generasi muda perlu memiliki wawasan lingkungan. “Dengan dibekali wawasan lingkungan, maka generasi muda akan memiliki kesadaran peduli lingkungan yang berujung pada perilaku untuk melestarikan lingkungan”. Itu sebabnya dunia lingkungan membutuhkan gerakan orang-orang yang mempunyai kepekaan edukasi tinggi untuk memberi pemahaman lewat teori dan praktik hidup kepada masyarakat.
Kelima, seruan WCC (World Council of Churches), CCA (Christian Conference of Asia ) dan PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) agar menciptakan kelestarian lingkungan.
Sidang raya ke VI dari WCC adalah yang terkuat memberi pemahaman dan penyadaran terhadap pemimpin-pemimpin gereja tentang pentingnya menjaga sesama ciptaan. Sidang raya ini bertemakan “Yesus Kristus – Hidup Dunia”, dilaksanakan di Vancouver (Kanada), pada tanggal 24 Juli-10 Agustus 1983. Begitu banyak pergumulan yang diperdebatkan, bahkan disuarakan oleh DGD pada dasarnya mendorong gereja-gereja dan orang Kristen untuk semakin peduli terhadap lingkungan hidup sebagai bagian yang setara dengan manusia.
Sidang Raya Christian Conference of Asia (CCA) ke-14 yang dilaksanakan 20-27 Mei 2015 di Jakarta.Tema Sidang Raya CCA kali ini: “Living Together in the Household of God” : Hidup Bersama dalam Rumah Tangga Allah (https://pgi.or.id/sidang-raya-cca-ke-14-membangun-rumah-tangga-allah/). Tema ini menekankan bahwa di tengah meningkatnya kekerasan dan konflik yang mengancam keamanan manusia, dan bencana alam serta kerusakan ekologis yang semakin parah, gereja-gereja di Asia terpanggil untuk memelihara hidup sebagai anugerah Tuhan, serta menjadi teman sekerja Allah dalam melindungi dan melestarikan seluruh ciptaan, karena: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1). Rumah tangga Allah lebih besar dari gereja karena rumah tangga Allah meliputi seluruh ciptaan Allah. Dunia menjadi tempat kediaman seluruh ciptaan Allah dan hidup saling menopang sebagai bagian dari rumah tangga Allah.
Sidang Raya ke XVI PGI juga menghimbau agar pemerintah tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara sewenang-wenang, melainkan melindunginya untuk diolah guna kepentingan hidup orang banyak dan sungguh-sungguh mewujudkan keadilan tanpa diskriminasi dengan menegakkan hukum yang berkeadilan.
Keenam, Eskatologis Lingkungan.
Wahyu 21:1-8 menggambarkan visi kosmik yang mencakup seluruh tatanan sosial dan totalitas alam. Wahyu 21:3, berbicara tentang perlindungan Allah dalam suatu langit baru dan suatu bumi baru. Perlindungan Allah yang tidak tampak kita antisipasi sekarang di bumi akan disempurnakan dalam langit dan bumi baru. Kita tidak berbicara secara pasti bagaimana rupa bumi ini kelak, tetapi sebagaimana di dalam kebangkitan tubuh kita, kita dapat mengharapkan bumi baru akan lahir dengan beberapa keserupaan dengan bumi ini (Celia Deane, 2007: 38-39).
Tujuan Pendidikan Lingkungan bagi Pemuda
Secara global ada lima tujuan pendidikan lingkungan yang disepakati usai pertemuan di Tbilisi 1977 oleh dunia internasional. Fien dalam Miyake, dkk (2003) mengemukakan kelima tujuan yaitu sebagai berikut:
a) Bidang Pengetahuan: Membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan berbagai pengalaman dan mendapatkan pengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk menciptakan dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan.
b) Bidang Kesadaran: Membantu kelompok sosial dan individu untuk mendapatkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan beserta isu-isu yang menyertainya, pertanyaan dan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan dan pembangunan.
c) Bidang Perilaku: Membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh serangkaian nilai perasaan peduli terhadap lingkungan dan motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan.
d) Bidang ketrampilan: Membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan keterampilan untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, mencegah dan memecahkan permasalahan lingkungan.
e) Bidang Partisipasi: Memberikan kesempatan dan motivasi terhadap individu, kelompok dan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Sebuah tujuan dasar dari pendidikan lingkungan adalah untuk membuat individu dan masyarakat memahami sifat kompleks alam dan lingkungan dibangun dihasilkan dari interaksi aspek biologi, fisik, sosial, ekonomi, dan budaya mereka, dan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai , sikap, dan keterampilan praktis untuk berpartisipasi dalam cara yang bertanggung jawab dan efektif dalam mengantisipasi dan memecahkan masalah lingkungan, dan dalam pengelolaan kualitas lingkungan (DLH Jabar). Hal senada dikemukakan oleh Meilani, 2011 bahwa pendidikan lingkungan hidup (PLH) pada dasarnya bertujuan untuk merubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan (perilaku ramah lingkungan). Melaluinya pemuda sadar bahwa lingkungan tempat yang didiami harus dijaga kelestariannya dan ikut memelihara ekosistem yang ada, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pengetahuan untuk memperbaiki dan memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana. Pendidikan lingkungan hidup adalah suatu proses yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran umat manusia akan lingkungan hidup dengan seluruh permasalahan yang terdapat di dalamnya (Soeriatmadja, 1997).
Oleh karena itu, dapat kemukakan bahwa tujuan pendidikan lingkungan bagi pemuda dari perspektif Kristen adalah menghasilkan pemuda yang tampil dengan rasa dan warna baru pada diri mereka sendiri, memiliki peran dan tanggung jawab terhadap komunitas mereka, muncul rasa percaya diri dan keberanian (identitas diri yang sehat), serta keinginan untuk membagikan kembali pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh kepada masyarakat luas seputar penciptaan kelestarian lingkungan yang membawa kesejahteraan bagi seluruh makhluk sebagai perwujudan kasih kepada Tuhan Yesus, dengan pertolongan Roh Kudus. Juga membentuk figur seorang pemimpin Kristen di masa mendatang yang memiliki kemampuan menginspirasi dan memotivasi masyarakat luas melalui pengajaran maupun percontohan hidup, agar lebih memperhatikan aspek kelestarian dalam pemanfaatan sumber daya alam seperti yang Tuhan kehendaki .
Akhirnya, melahirkan pemuda umumnya, dan pemuda Kristen khususnya sebagai generasi penerus yang proaktif, kreatif, antusias, dan produktif dalam menciptakan kelestarian lingkungan agar ekosistem lautan dan ekosistem daratan dapat hidup secara harmonis, dan kesejahteraan ekonomi, politik dan sosial dapat terwujud.
Fokus dan Prinsip pendidikan lingkungan bagi pemuda
Materi pendidikan lingkungan bagi pemuda tentu perlu disesuaikan dengan konteks di mana mereka hadir. Namun, setidaknya pemaparan di bawah ini menjadi gambaran dan pertimbangan tentang materi yang dapat disosialisasikan, sebagai berikut: 1) Konsep konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam (hutan, ekosistem air tawar, pantai, dll.) 2). Gaya hidup ramah lingkungan (baru-baru ini hadir istilah eco racing dan eco disel di dunia otomotif). 3) Isu-isu konservasi (Mis. orangutan, pesut dan bekantan). 4) Upaya manajemen hutan yang berkelanjutan 5 ) Moral dan etika konservasi. 6) Lokakarya kewirausahaan masyarakat yang berbasis lingkungan. 7) Restorasi lingkungan. 8) Penanganan masalah spesies terancam punah, polusi dan perubahan iklim. 9) Tindakan praktis (mis. menanam pohon di lingkungan rumah, melakukan reboisasi secara masal di daerah pegunungan, melestarikan hutan-hutan, memberantas terjadinya illegal logging, dll.
Menurut Wikipedia, pendidikan lingkungan hidup berfokus pada: 1) Kepedulian dan sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan tantangannya. 2) Pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan hidup dan tantangannya. 3) Perubahan perilaku terhadap lingkungan hidup dan mengembangkan peningkatan kualitas lingkungan hidup. 4) Keahlian untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan lingkungan hidup. 5) Partisipasi untuk menerapkan pengetahuan dan keahlian terkait program lingkungan hidup. Selain itu, Universitas Negeri Semarang dalam buku Pendidikan Lingkungan Hidup (2014:5) menerapkan tujuh pilar konservasi, yaitu: biodiversity conservation, paperless policy, green architecture & internal transportation, waste management, clean energy, etika seni dan budaya, kader konservasi. Diharapkan dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan terhadap lingkungan hidup.
Salah satu kunci keberhasilan gerakan peduli lingkungan di konteks sekolah formal, baik tingkat PAUD, SD, SMP, SMA adalah komiten kepala sekolah dan di tingkat Perguruan Tinggi oleh Ketua atau Rektor. Jika mereka mempunyai komitmen terhadap pemuda, maka gerakan peduli lingkungan harus dimasukkan dan disesuaikan dengan kurikulum sekolah / PT. Melalui kurikulum tersebut maka ada sosialisasi dengan membumikan pemikiran-pemikiran untuk memahami dampak-dampak lingkungan hidup baik flora dan fauna. Bagaimana menciptakan lingkungan hidup berbasis inovasi yang bersumber dari alam dan diekpresikan ke dalam masyarakat untuk menjadikan sebagai budaya yang berkelanjutan menjadi pertanyaan yang relevan untuk dijawab di masa kini.
R.M. Drie S. Brotosudarmo (2008:104), bahwa sasaran pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup harus memerhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, menghidupkan pertumbuhan ekonomi yang merata dan mengubah kualitas pertumbuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan manusia yang esensial yang meliputi lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi. Ketiga, tingkat pertambahan penduduk yang memadai dengan kemampuan ekosistem untuk menopang kehidupan. Keempat, konservasi dan peningkatan kualitas sumber daya serta reorientasi pada teknologi dan pengelolaan risiko agar mengarah pada teknologi hemat dan bersih atau ramah lingkungan. Kelima, pembangunan ekonomi yang didukung oleh sumber daya alam yang dapat diperbaharui sehingga landasan sumbernya lebih luas dan beragam. Keenam, sumber daya alam itu harus dimanfaatkan secara rasional dan efisien (tidak boros), sedangkan pemanfaatan sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan total harus dicegah, agar persediaan sumber daya alam pada masa yang akan datang masih memadai.
Menjadi suatu harapan untuk aksi panjang. Pemerintah, masyarakat dan komunitas lainnya perlu melaksanakan program-program pelestarian lingkungan melalui gerakan cinta lingkungan, seminar bagi pembina pemuda, berusaha menanamkan budaya ekologis bagi pemuda dengan memasukkan lebih banyak materi yang berkaitan dengan pencerdasan tentang lingkungan dalam kurikulum.
Menurut Wikipedia, yang menjadi prinsip pendidikan lingkungan adalah:
1). Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas - alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika); 2) Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada zaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal; 3) Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang. 4) Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain; 5) Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya; 6) Mempromosikan nilai dan pentingnya kerja sama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan; 7) Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan; 8) Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut; 9) Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup; 10) Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan; 11) Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berpikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah. 12) Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).
Dengan fokus dan prinsip yang jelas, maka pendidikan lingkungan yang berkualitas dan menjawab kebutuhan / tantangan zaman akan menjadi kenyataan.
Pandangan Keliru tentang Lingkungan dan Posisi Kekristenan
Menurut Norman L. Geisler (2015:387-390), pandangan keliru tentang lingkungan dapat berupa;
Pertama, pandangan materialis menganggap lingkungan sebagai sumber energi tanpa batas, yang seiring berjalannya waktu menghasilkan manusia-manusia yang oleh kebaikan dari status evolusi mereka yang lebih tinggi, menguasai dunia sekitar mereka. Melalui teknologi, mereka bisa mengubah lingkungan dengan cara-cara yang diperlukan untuk tujuan-tujuan mereka sendiri. Penjelasan pandangan materialis tentang lingkungan bahwa alam ada dengan sendirinya, energi itu tidak terbatas, teknologi manusia bisa mengatasi hampir semua masalah, dunia menderita terutama karena maldistribusi (distribusi yang tidak merata) dan pendidikan global bisa memperbaiki maldistribusi.
Kedua, ada paham pantheis yang memercayai bahwa alam itu bersifat ilahi. Karena itu, kita wajib menghargai alam dan melindunginya dari campur tangan teknologi. Alam dipandang mengandung unsur mistis, dan seringkali sebagai pusat pemujaan. Penjelasan pantheis tentang lingkungan bahwa alam adalah organisme hidup, spesies-spesies yang hidup adalah manifestasi Allah, manusia adalah satu dengan alam, dan kita bukan raja melainkan hamba alam.
Ketiga, cara pandang dikotomis yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan. Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif, destruktif, dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Di samping itu, paham materealisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan teknologi dan pengetahuan semakin mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal. Paradigma antroposentrisme yang melekat pada manusia menjadi dasar kerusakan lingkungan (Adrianus Sunarko, 2008:32).
Kekristenan berbeda dengan apa yang dikemukakan di atas, tidak percaya pada eksploitasi teknologi dan pemujaan mistik. Kekristenan yakin bahwa Allah adalah Sang Pencipta dan manusia adalah pemelihara bumi yang luar biasa dan mulia, kewajiban kita adalah menjaga dan bukan merusak, memelihara dan bukan mencemarinya. Alam bukanlah Allah, tetapi alam adalah taman milik Allah (Mzm. 24:1). Alam seharusnya tidak disembah; sebaliknya, harus menjaganya. Pandangan yang keliru tentang manusia dan ciptaan lainnya harus ditolak. Penjelasan kekristenan tentang lingkungan bahwa dunia adalah ciptaan Allah, dunia adalah milik Allah, bumi adalah cerminan Allah bumi ditopang dan dioperasikan Allah, dunia terikat dengan perjanjian dengan Allah, manusia adalah pemelihara lingkungan, kewajiban untuk berkembang biak, kewajiban berkuasa dan perintah untuk menjadi pemelihara.
Dalam menyimpulkan teologinya tentang ekologi, Sunarko berpendapat bahwa paham Kristiani melihat segala sesuatu memiliki nilai dalam dirinya sendiri karena relasi mereka dengan Allah. Tidak ada paradigma antroposentrisme, tidak juga biosentrisme, geosentrisme, dan kosmosentrisme. Jadi, segala sesuatu dilihat memiliki nilai dan tidak ada yang berhak untuk menghancurkan dan memberlakukan alam dengan sesuka hati manusia (Yanice Janis, 2014:81).
Dalam buku Etika Lingkungan Hidup (A Sonny Keraf: 2014, 8) diketengahkan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup global dewasa ini sesungguhnya disebabkan oleh karena kesalahan paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam semesta dianggap sebagai tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia. Paradigma antroposentrisme inilah yang melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kepentingan manusia. Solusi yang ditawarkan sejalan dengan itu adalah perubahan radikal paradigma kita dari antroposentrisme menjadi biosentrisme, atau bahkan ekosentrisme, yang memandang alam sebagai sama pentingnya karena mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri justru karena ada kehidupan di dalamnya, tidak hanya kehidupan manusia melainkan juga kehidupan makhluk hidup pada umumnya yang harus dihormati dan dijaga kelestariannya.
Manfaat Pendidikan Lingkungan
Manfaat pendidikan lingkungan secara luas dan sempit bisa beranekaragam, antara lain:
Pertama, menjadi kontribusi nyata bagi pencapaian Agenda Global 2030 (TPB/SDGs) oleh Indonesia, khususnya Goal 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), Goal 4 (Pendidikan Berkualitas), Goal 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), Goal 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), Goal 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan), Goal 12 (Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggungjawab, Goal 13 (Penanganan Perubahan Iklim), Goal 14 (Ekosistem Lautan) dan Goal 15 (Ekosistem Daratan).
Kedua, ketika ekosistem lautan dan ekosistem daratan lestari, gaya hidup ramah lingkungan berjalan dengan baik maka kesejahteraan bagi seluruh makhluk dapat tercipta.
Ketiga, walaupun tindakan individual hanya mempunyai dampak yang terbatas dalam mengubah arah seluruh kecenderungan, ada tanda-tanda bahwa perubahan-perubahan besar dipupuk oleh individu-individu dan kelompok kecil yang bertanggung jawab terhadap apa yang telah dikenal sebagai hidup “berkelanjutan”, yaitu hidup yang tidak mengambil melebihi sumber-sumber alam yang tersedia. Inilah yang harus disosialisasikan dan diterapkan terhadap pemuda (Celia, : 14). Melalui pendidikan lingkungan bagi pemuda, maka mereka dapat ditugaskan menjadi pemberi informasi tentang upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup (to inform), pemuda mendemontrasikan sikap keteladanan di bidang lingkungan sehingga memberikan inspirasi bagi masyarakatnya (to inspire) dan menjadi agen untuk meningkatkan kapasitas dan potensi masyarakat (to empower). Akhirnya pemuda menjadi seseorang yang mampu menjadi trendsetter, bukan hanya followers, mampu menyelaraskan kerjasama dengan lembaga/mitra lain, mampu meningkatkan kapasitas dirinya dan mengembangkan energi positif bagi lingkungan di sekitarnya, serta menjadi role model dalam keseharian. Pemuda menjadi pionir dalam teori dan praktik pencipta kelestarian lingkungan.
KESIMPULAN
Lingkungan sekitar tempat manusia hidup adalah alam atau realitas yang diberikan Tuhan Allah kepada manusia untuk dikuasai, diusahakan dan dipelihara secara bertanggung jawab (Kejadian 1:28, 2:15). Manusia diangkat oleh Tuhan menjadi “penguasa” atas sekalian alam, sekaligus sebagai “hamba” Tuhan dalam kuasa-Nya terhadap dunia ciptaan-Nya. Manusia bertugas untuk menguasai alam, bertanggung jawab dalam hal pengelolaan, pemeliharaan dan pengembangannya.
Kedudukan dan peran pemuda dalam melestarikan lingkungan adalah sangat sentral. Menjadi kebutuhan dan tugas mendesak untuk memperlengkapi dan memobilisasi pemuda melalui pendidikan yang sadar, bermutu, terencana dan berkesinambungan, baik secara formal, non-formal, dan informal. Sikap bijaksana dan bertanggungjawab dalam aktivitas konsumsi dan produksi harus tertanam sejak dini, dan terus menerus dilanjutkan di tingkat SD, SLTP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Memang, tidak bisa dipungkiri hal ini adalah pekerjaan berat, namun jika pemuda berperan, yang disertai partisipasi dan pemberdayaan seluruh stakeholder yang ada (tanpa terkecuali), maka lingkungan yang menjadi idaman semua orang dapat tercipta. Yang harus diingat adalah bahwa kelestarian lingkungan, penting untuk menjamin keberlangsungan kehidupan. Lingkungan yang lestari, mendukung kehidupan manusia. Saatnya bagi pemuda untuk proaktif menjadi pionir dalam aksi penyelamatan lingkungan!
DAFTAR PUSTAKA
Aniyati Dewi, pipih Supiyah, Etc. Pendidikan Lingkungan Hidup. Bandung: Arya
Duta, 2010.
Boorong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Brotosudarmo, R.M. Drie S. Pendidikan Agama Kristen untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Andi, 2008.
Deane, Celia-Drummond, Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Evelyn Tucker, Mary & John A. Grim. Agama, Filsafat & Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Geisler, L. Norman. Etika Kristen. Surabaya: SAAT, 2015.
Granberg-Michaelson, Wesley. Menebus Ciptaan; Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di
Rio: Tantangan Bagi Gereja-Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.
https://www.bappenas.go.id
https://pgi.or.id/sidang-raya-cca-ke-14-membangun-rumah-tangga-allah/
Harun, Martin. 1998. Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah. Jurnal pelita Zaman,
Volume 13, Nomor 2. https://alkitab.sabda.org/resource.php.
Hutagalung, R.A. Ekologi Dasar. Jakarta: 2010.
Ismail, Andar. Ajarlah Mereka Melakukan; Pendidikan Ekologi dalam PAK. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Keraf, A. Sonny. Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Knitter, F. Paul. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: LAI, 2017.
Majalah Serasi, Edisi 01/2010.
Mulyanto, H. R. Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Noor, Djauhari. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Poerwadarminta, W.J. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
2007.
Schell, Jonathan. The Faith of the Earth. New York: Avon Book, 1982.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Manado. Jurnal Ilmiah Tumou Tou. Manado:
STKN, 2014.
Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung, Alfabeta, 2011.
Universitas Negeri Semarang. Pendidikan Lingkungan Hidup. Semarang: 2014.
BIODATA
Alon Mandimpu Nainggolan lahir di kota Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada tanggal 23 November 1986; mempunyai seorang isteri dan seorang anak perempuan. Selepas menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 1 Tapanuli Utara (2005), penulis melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Teologi Presbyterian Shema Cianjur sampai berhasil meraih gelar Sarjana Teologi (2010). Terpanggil untuk mengemban misi Allah, khususnya di bidang Pendidikan Kristen, penulis selanjutnya mengambil program Magister Teologi di Institut Alkitab Tiranus Bandung, dan mendapatkan gelar M. Th. (2014). Sebelumnya (2010-2018) penulis menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Teologi Presbyterian Shema Cianjur, dan saat ini bertugas di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado sebagai dosen (2019 sampai seterusnya).
Selamat membaca!
BalasHapus