RIVALITAS Vs SOLIDARITAS (Orientasi Hidup "To Have" Vs "To Be")
Rivalitas vs Solidaritas
Kejadian 25:19-21; Roma 8:1-11
Di akhir tahun 2014 dan 2019 kita diperhadapkan dengan persaingan yang sangat berat dan ketat yaitu Pemilihan Presiden, apakah Jokowi atau Prabowo. Di konteks keluarga dan masyarakat timbul gejolak, pengkotak-kotakan, pengelompokan, dan permusuhan, sebab mengusung capres yang berbeda. Kemudian di tahun 2015 awal kita juga dipertontonkan dengan persaingan yang ketat untuk menentukan siapa yang akan menjadi nomor satu di kepolisian Indonesia. Demikianlah selama kita hidup di dunia kita akan menemukan persaingan demi persaingan, baik dalam konteks yang luas maupun sempit, dari ranah internasional sampai konteks gereja maupun keluarga. Ada persaingan yang sehat; namun ada juga persaingan yang tidak sehat, yaitu persaingan yang mencari-cari kelemahan, kegagalan, memfitnah, menjelek-jelekkan yang mengarah pada permusuhan, atau persaingan yang menghalalkan segala cara agar saya menang dan orang lain kalah.
Timbul pertanyaan bagaimana posisi kita di tengah-tengah keadaan seperti itu? Apa tugas dan panggilan kita? Sesungguhnya, tugas dan panggilan kita adalah membawa damai sejahtera, bukan membawa rivalitas yang mengarah pada permusuhan. Tuhan menghendaki kita solider: bersifat mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu (senasib, sehina, semalu), dan bukan mendemonstrasikan pertentangan, permusuhan, persaingan yang tidak sehat. Jikalau kita selidiki, sesungguhnya apa yang menyebabkan rivalitas yang mengarah kepada permusuhan: antar anak, antar mahasiswa/i, antar anggota keluarga, antar gereja, antar masyarakat, antar suku, antar golongan, dan antar agama?
Hal ini disebabkan karena orientasi pemikiran kita adalah to have. Tujuan hidup kita, keinginan kita adalah untuk memiliki, mendapatkan, menguasai, apakah itu pria idaman, wanita idaman, uang, harta, kekayaan, gelar, dll. Kecenderungannya menjadi serakah, ingin menang sendiri, mengeksploitasi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu. Sehingga kita melihat orang lain itu bukan sebagai teman sepeziarahan, teman yang saling memperkaya, teman yang memperhatikan; namun saingan; bukan pendamai, ancaman, bukan teman tetapi lawan.
Bagaimana dengan saudara, ketika melihat sesama manusia / oranh di sekitar Anda memandangnya sebagai apa? Teman se-keyakinan, teman seperjuangan, teman sepenanggungan atau saingan yang mengancam hidupmu? Bagaimana di konteks keluarga, apakah kita melihat adek atau kakak sebagai saingan, pencuri perhatian orang tua atau?
Lalu semestinya bagaimana? Orang Kristen, mahasiswa Kristen, dan mahasiswa teologi khususnya, mesti memiliki orientasi hidup to be, menjadi, berada, sebagai orang yang selalu berpikir menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Ia ada dan hadir untuk rencana Tuhan, untuk orang lain yang membutuhkan uluran tangan. Banyak peran kita: sebagai anak, mahasiswa, pembina, pembimbing, guru, warga jemaat, pemimpin; namun biarlah itu bertujuan untuk menjadi sesuatu yang bermakna bagi orang lain. Cenderung melayani, memberi diri, rela berkorban, solider, terhadap orang-orang yang membutuhkan dirinya.
Hal ini sejajar dengan Roma 8:1-11, yaitu hidup dalam daging vs hidup dalam roh. Dalam Roma 8:1-11 Paulus menguraikan dua golongan orang: pertama, mereka yang hidup menurut daging. Hidup menurut daging berarti mengingini, menyenangi, memperhatikan, dan memuaskan keinginan tabiat manusia berdosa (to have). Kedua, mereka yang hidup menurut Roh. Hidup menurut Roh berarti mencari dan tunduk kepada pimpinan Roh Kudus dan memusatkan pikiran pada hal-hal yang dari Allah. Apabila kita hidup dalam daging, maka orientasi hidup kita akan to have, membangun dan mengembangkan rivalitas yang tidak sehat, mengarah pada pertentangan dan permusuhan; namun jika kita hidup di dalam Roh, maka kita akan diarahkan, dimampukan untuk membangun dan mengembangkan rivalitas yang sehat, yang membawa damai bagi semua orang.
Dalam perikop yang kita baca tadi, nampaklah jelas bahwa kisah Yakub dan Esau (kej. 25:19) membangun dan mengembangkan rivalitas yang mengarah pada permusuhan. Pada umumnya orang kembar sama, kelihatannya rukun. Tetapi dalam cerita tadi mereka bermusuhan, bahkan sejak dari kandungan. Mengapa mereka bermusuhan? Itukan karena sudah ditentukan Allah. Sesungguhnya jika seseorang dipimpin oleh Allah, maka yang kuat bisa melindungi yang lemah, bahkan jika ada kebalikan yang muda berkuasa atas yang tua; namun tidak perlu diterjemahkan sebagai sumber permusuhan, harus diterima keduanya sebagai peran yang berbeda dipercayakan oleh Allah. Tuhan menetapkan tugas dan panggilan dalam kehidupan kita, Tuhan juga memberikan peran masing-masing yang khas. Kita tidak dapat mengatakan mengapa saya laki-laki atau perempuan, bakat juga berbeda-beda; karunia juga berbeda-beda, namun bakat dan karunia yang berbeda tidak seharusnya mendatangkan permusuhan.
Jadi, seandainya Yakub dan Esau hidup sesuai dengan kehendak Tuhan tidak seharusnya akan ada permusuhan. Namun, sebagai catatan bahwa mereka memiliki orientasi hidup to have. Tidak lepas dari pengasuhan/pendidikan orang tuanya. Dikatakan dalam ayat 21 bahwa Ribka dan Ishak tidak hidup dalam kerukunan. Apa yg salah, dikatakan berdoalah Ishak untuk isterinya...(miliknya)...kalau pun isteri mandul...dia ingin punya anak.,,harusnya berdoalah Ishak bersama isterinya. Karena itu masalah mereka berdua. Ishak mau memiliki anak.yang suka berburu yaitu Esau; Ribka mau memiliki Yakub yang bisa membantu ibunya di rumah,Yakub. Yakub berorientasi pada to have. Sehingga ketika Esau datang lelah, dia minta “to have”, tetapi mengiginkan hak kesulungan. Disana terjadi kebohongan, permusuhan, mungkin meruncing kepada kebencian, memuncak pada pembunuhan, akhirnya Yakub lari.
Lalu bagaimana semestinya yang harus dilakukan anak-anak Tuhan? mestinya lebih mengedepankan solidaritas dibandingkan dengan rivalitas. Sebab jika kita telah membangun dan mengembangkan sikap solider terhadap sesama, maka pada kesempatan yang sama kita akan di dorong untuk memiliki rivalitas yang sehat, yang membangun, yang membawa damai sejahtera. Lalu bagaimana kita membangun dan mengembangkan sikap solidaritas yang sehat? Salah satu caranya adalah dengan merenungkan solidaritas Allah terhadap manusia. Allah yang agung, besar, dan maha segala-galanya rela mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal demi keselamatan dan hidup kekal bagi manusia yang percaya kepada-Nya. Selanjutnya, dengan merenungkan solidaritas Yesus terhadap manusia yang berdosa. Sesungguhnya Yesus melakukan baptisan pertobatan di kitab Injil bukan karena dia berdosa, melainkan karena solider terhadap manusia yang berdosa.
Di gereja kita selalu melaksanakan Perjamuan Kudus. Apa arti Perjamuan Kudus? Salah satu artinya adalah bahwa perjamuan kudus merupakan wujud/bukti solidaritas Allah terhadap manusia. Allah yang maha tinggi mengambil rupa sama seperti manusia.
Jadi, panggilan kita di pelbagai konteks adalah menghadirkan sikap solider terhadap sesama; mendemonstrasikan rivalitas yang sehat, menghadirkan damai sejahtera, dan bukan permusuhan.
Silahkan dibaca! Semoga bermanfaat!
BalasHapus